10 Maret 2014

Tom Hiddleston Breaks Into Tears At 'Thor 2' Premiere

Tom Hiddleston Breaks Into Tears At 'Thor 2' Premiere: "It might be the last one, and it's been amazing," Hiddleston says about the "Thor 2" premiere being his last Marvel red carpet.

=============================
Oooohhh.. Tom. Don't cry. Come here, dear...
*pukpuk*

^_^

7 Maret 2014

Cintaku seperti Ilmu Tajwid

Sharing romantisme yg Islami, sambil me-refresh ilmu. Mengutip dari Teh Tia Rostiana, kawan baik saya di kantor. ^_^

"Cintaku seperti Ilmu Tajwid"

Saat pertama kali berjumpa denganmu, aku bagai berjumpa dengan saktah, hanya bisa terpana dengan menahan nafas sebentar...

Aku di matamu mungkin bagaikan "nun" mati di antara idghom billaghunah; terlihat, tapi dianggap tak ada....

Aku ungkapkan maksud dan tujuan perasaanku seperti idzhar, jelas dan terang....

Jika "mim" mati bertemu "ba" disebut ikfa syafawi, maka jika aku bertemu dirimu, itu disebut cinta....

Sejenak pandangan kita bertemu, lalu tiba-tiba semua itu seperti idgham mutamaatsilain, melebur jadi satu....

Cintaku padamu seperti mad wajibmuttasil, paling panjang di antara yang lainnya.....

Setelah kau terima cintaku,hatiku rasanya seperti qalqalah kubro, terpantul-pantul dengan keras....

Dan akhirnya setelah lama kita bersama, cinta kita seperti iqlab, ditandai dengan dua hati yang menyatu.....

Sayangku padamu seperti mad thobi'i dalam Al Quran: buanyakkkk benerrrrrrrr.....

Semoga dalam hubungan kita ini seperti idgham bilaghunnah, yang cuma berdua, "lam" dan "ro"......

Meski perhatianku tak terlihat seperti "alif lam syamsiah", tapi cintaku padamu seperti "alif lam qomariah"; terbaca jelas......

Kau dan aku seperti idgham mutaqooribain, perjumpaan dua huruf yang sama makhraj-nya tapi berlainan sifatnya.....

Dan layaknya huruf tafkhim,namamu bercetak tebal di pikiranku....

Semoga aku menjadi yang terakhir untuk kamu, seperti mad aridlisukun.

^_^

18 Februari 2014

All I Ever Wish For

All I ever wish for in life is as simple as being loved.
I wonder if that was too much to ask?

All I ever wish for in life is a good home. Warm family, where we all love and support one another. Listen and answer each other with our hearts. And solving problems by always consulting God. Always.

I wonder if that was too much to ask?

All I ever wish for in life is to see the bright smiley face on my children’s, every single day. Fulfill their every need and make them feel that they’re loved, completely. Letting them know that they will always have a family who support them unconditionally, mentally and spiritually. Grow them healthy and happy. Happy and strong-willed children.

I wonder if that was too much to ask?

All I ever wish for in life is to wake up in the morning, being held by those strong arms of my loving husband, feeling his tender kisses as I open up my eyes, listen to him whispering my name–saying he loves me and will take a good care of me. And hear him mentions my name and the children when he’s praying to God.

I wonder if that was too much to ask?

All I ever wish for in life is an intelligent, loving, strong, strict, leading husband worthy to follow and respect. Who listens patiently and answers us wisely. A man whose jokes make all of us laugh. A man who always stand in front of us to protect us, and always be ready behind to support us. A man who understands his roles as the captain, the leader, the father, the husband, the provider, the supporter, the lover, THE REAL MAN. A man who never afraid to appreciate and understands his wife. A man who devotes his life for us–his family–as his jihad to God.

I wonder if that was too much to ask?

All I ever wish for in life is to fall asleep inside that warm embrace of my husband’s wide chest, feeling his arms folding me like petals to its flower, protecting me, loving me whole-heartedly. Or keep me awake all night long to make love to me vigorously, passionately. Sending me to heaven-on-earth with many, many, many times of orgasms before he’s done, caressing me happily and only stop when I started to feel sleepy. And when he put his head on my cheek, he’d make me calm to hear his lullaby saying,
"Sleep tight, dear. Sweet dream. Stop worrying life. I am here for you, to love you endlessly, to protect you with my soul, to do my best for our children with all my might. Sleep now and I promise, you will still find me here tomorrow, embracing you. I will never leave you alone, inshallah, until God wants me to come home."”
Hmm.. I wonder if such man existed.

Is that too much to ask, God?

This is my heart speaking, my brain translating, and my fingers writing.

6 Februari 2014

Konsep Negara Kesejahteraan Madinah, Solusi atau Ilusi?

One of my favorite article in our website. The author is onf of my favorite writers. ^_^
Source: http://www.pnpm-perkotaan.org/wartadetil.asp?mid=5319&catid=2&

Konsep Negara Kesejahteraan Madinah, Solusi atau Ilusi?


Oleh:
Muh. Darwis
Sub TA Monev
OSP 8 Provinsi Sulawesi Selatan
PNPM Mandiri Perkotaan

Telaah tentang konsep negara kesejahteraan Madinah “Madani”, atau yang lebih dikenal dengan sebutan masyarakat “civil society”, menjadi sesuatu yang menarik perhatian, baik aktivis pemberdaya masyarakat ataupun pemerhati pemberdayaan masyarakat. Tak pelak, topik ini seringkali menjadi bahan pembicaan atau tema diskusi formal maupun non-formal.

Konsepsi Masyarakat Madani


Menurut Tahir Azhary dalam bukunya Negara Hukum: Studi tentang Prinsip-Prinsipnya Segi Hukum Islam, Implementasinya pada Periode Negara Madinah dan Masa (Jakarta: Kencana, 2007), halaman 157, “Berdasarkan catatan sejarah diketahui bahwa Nabi Muhammad, SAW hijrah ke Madinah pada tahun 622 M. Ada dua aktivitas sangat penting yang dilakukan setibanya di Madinah, yaitu mendirikan mesjid di Quba dan city-state di Madinah. Dua peristiwa tersebut membuktikan bahwa Nabi Muhammad, SAW telah melaksanakan dua macam doktrin Islam yang pokok, yaitu hubungan manusia dengan Allah, SWT dan hubungan manusia dengan sesama manusia.”

Sedangkan menurut Irfan Idris dalam bukunya Islam dan Konstitusionalisme: Konstribusi Islam dalam Penyusunan Undang-Undang Dasar Indonesia Modern, (Yogyakarta: antony Lib, 2009), halaman 32 mengemukakan, “Perilaku Nabi Muhammad, SAW pada permulaan periode di Madinah membuktikan bahwa sejak semula Islam mempertautkan secara erat antara agama dengan negara. Selain itu pula ketika Nabi Muhammad, SAW di Madinah, mengubah nama Kota Yastrib menjadi Madinah. Namun, Madinah yang digunakan untuk mengganti Yastrib tidak sekadar berarti kota. Nama itu punya arti yang luas, yaitu kawasan tempat menetap dan bermasyarakat yang memiliki peradaban dan budaya mencakup negara (dawlah) dan pemerintahan (hukumah). Di belakang kata Madinah, ditambahkan kata Munawwarah atau Madinah al-Munawwarah, artinya negara dan pemerintahan yang diberi cahaya wahyu llahi, atau menurut istilah al-Farabi, yaitu al-Madinah al-Fadilah (negara utama)”.

Nurcholish Madjid, dalam tulisannya yang berjudul Menuju Masyarakat Madani dalam Jurnal Ilmu dan Ulumul Qur'an, No. 2, Vol. VII, Th. 1996, h. 51 menyebutkan, “Secara konvensional, perkataan madinah, dapat diartikan sebagai kota. Dalam ilmu kebahasaan, mengandung makna peradaban. Dalam bahasa Arab peradaban dinyatakan dalam kata-kata madaniyah atau tamaddun. Oleh karena itu, tindakan mengubah nama Yastrib menjadi Madinah pada hakikatnya adalah sebuah peryataan niat atau proklamasi bahwa Nabi Muhammad, SAW bersama para pendukungnya, yang terdiri atas kaum Muhajirin dan Anshar, hendak mendirikan dan membangun masyarakat beradab.”

Fajar Riza dan Endang Tirtana, (ed.), Islam, HAM, dan Keindonesiaan: Refleksi Agenda Aksi untuk Pendidikan Agama, (Jakarta: MAARIF Institute for Culture and , 2007), halaman 22, mengutip uraian Yudi Latif sebagai berikut. “Salah satu penjelasan leksikal kata madinah berasal dari kata kerja dana-yadinu, berarti tunduk-patuh; yang mengisyaratkan kewajiban manusia untuk tunduk dan patuh kepada kesepakatan dan perjanjian kontraktual yang sah antara manusia dengan Tuhannya dan antara sesamanya. Penjelasan leksikal lainnya menyebutkan bahwa madinah berasal dari kata kerja madana-yamdunu, yang berarti mendirikan bangunan. Hal ini mengisyaratkan pembangunan hunian tetap sebagai basis peradaban negara-kota (polis)”.

Masyarakat yang dibangun oleh Nabi Muhammad, SAW di Madinah, oleh Robert N. Bellah dalam Beyond Belief, (New York: Harper & Row, 1976), halaman . 150-151 dikatakan sebagai masyarakat yang—untuk zaman dan tempatnya—sangat modern, bahkan terlalu modern. Sehingga, setelah Nabi Muhammad, SAW sendiri wafat, konsep tersebut tidak bertahan lama. Timur Tengah dan umat manusia saat itu belum siap dengan pranata sosial yang diperlukan untuk menopang tatanan sosial modern seperti dirintis Nabi Muhammad.

Negara Madinah yang dibangun oleh Nabi Muhammad, SAW adalah berdasarkan prinsip kesejahteraan. Dalam Islam, konsep negara hukum kesejahteraan dirumuskan dengan istilah baldatun thayyibatun, seperti dalam Firman Allah swt. Q.S. Saba (34) Ayat 15 sebagai berikut: 

Terjemahannya:"...(negerimu) adalah negeri yang baik dan (Tuhanmu) adalah Tuhan yang Maha Pengampun”. 

Hakikat baldatun thayyibatun pada ayat di atas adalah suatu negeri atau daerah yang baik, tanahnya subur, masyarakatnya makmur serta pemerintahannya adil, dan merupakan gambaran masyarakat yang ideal.

Dalam mewujudkan negara hukum kesejahteraan sebagaimana dimaksudkan Al Qur'an, yaitu suatu negara yang sejahtera di bawah naungan ridha Allah, SWT, maka negara berkewajiban mengatur dan mengalokasikan dana dalam jumlah yang cukup untuk keperluan jaminan masyarakat yang memerlukannya. Jaminan sosial itu mencakup tunjangan pengangguran, tunjangan orang tua (berusia pensiun), beasiswa bagi yang sedang menuntut ilmu dan lain-lain. Negara berkewajiban pula menyediakan sarana peribadatan, pendidikan, panti asuhan, rumah sakit dan lain-lain.

Pada negara hukum Madinah, hanya ada satu motivasi pada prinsip kesejahteraan yaitu doktrin Islam: hablun min Allah wa hablun min al-nas, yaitu aspek ibadah dan aspek muamalah. Realisasi prinsip negara hukum kesejahteraan ini semata-mata bertujuan untuk mewujudkan keadilan sosial dalam masyarakat sesuai dengan perintah Allah, SWT.

Masyarakat Madinah yang dibangun oleh Nabi Muhammad, SAW adalah masyarakat yang berhasil memberlakukan nilai-nilai keadilan, prinsip kesetaraan hukum, jaminan kesejahteraan bagi semua warga, serta perlindungan terhadap kelompok minoritas. Kalangan pemikir Muslim menganggap masyarakat (kota) Madinah sebagai prototype masyarakat ideal produk Islam. Hal itu berdasarkan hadits Nabi Muhammad, SAW dalam sabdanya, “Tak ada satupun masyarakat di dunia ini yang sebaik masyarakat, atau sebaik-baik masa adalah masaku.”

Sumber-sumber pendapatan negara pada Negara Madinah, antara lain zakat, infaq, sadaqah, ghanimah dan jizyah. Zakat, infaq, sadaqah merupakan sumber pendapatan negara yang berasal dari kaum Muslimin. Ghanimah adalah harta rampasan perang yang ditentukan.

Nabi Muhammad, SAW sebagai rasul tidak hanya menerapkan prinsip kesejahteraan sosial dalam makna pemenuhan akan kebutuhan materil atau kebendaan saja, akan tetapi dalam kedudukannya sebagai Rasulullah dan Kepala Negara Madinah, Nabi Muhammad, SAW telah menerapkan suatu prinsip kesejahteraan untuk dua macam kepentingan. Yaitu, kepentingan kesejahteraan materil bagi semua warga Madinah dan kesejahteraan yang bersifat spiritual.

Nabi Muhammad, SAW telah melaksanakan dan menerapkan suatu prinsip keseimbangan duniawiyah dan ukhrawiyah. (Sumber: Muhammad Tahir Azhary, Negara Hukum… op.cit.. h.168)

Prinsip ini diajarkan dalam Q.S. al-Baqarah (2) Ayat 201 sebagai berikut: 

Terjemahannya:“Dan di antara mereka ada orang yang berdoa: ‘Ya Tuhan kami, berilah kami kesejahteraan (kebaikan) di dunia dan kesejahteraan (kebaikan) di akhirat dan peliharalah kami dari siksa neraka”. 

 Pertanyaannya kemudian adalah, dapatkah konsep Negara kesejahteraan Madinah (Madani) kita wujudkan pada sebuah Negara yang menganut dan menerapkan sistem kapitalis sekuler seperti Indonesia? Wallahu a’lam bish-shawab. [Sulsel]

Editor: Nina Firstavina

To Make Mistakes is Human

Kawan, tahukah, berbuat salah itu manusiawi.
Belum berhasil dalam hidup itu bukan berarti kita telah gagal.

Semua adalah pembelajaran, pelajaran dan ajang pendewasaan diri menuju kebijaksaan, dengan harapan, akan terlahir kebajikan dari diri setiap insan.

Yang membedakan antara manusia unggulan dengan manusia non-unggulan adalah cara ia menyikapi kesalahan dan kebelum-berhasilan (bahasa apa ini?! hahaha..) tersebut.

Manusia unggulan selalu belajar dari kesalahan dan kebelum-berhasilannya, lalu ia segera melakukan sesuatu: berubah menjadi manusia yang lebih baik lagi ke depannya. Manusia unggulan itu selalu berkembang. Improving. Upgrading.

Sedangkan manusia non-unggulan sebaliknya. Ia tidak mengambil pelajaran dari kesalahannya, dan cukup puas dengan dirinya sendiri tanpa mau berkembang.

Yes. Kata kuncinya adalah MAU BELAJAR dan BERBUAT LEBIH BAIK.

Di sisi lain, saya pribadi tidak pernah percaya dengan kata gagal. Tidak ada yang namanya gagal, kecuali kita telah berhenti mencoba, atau mati.

Jadi, selama masih ada nafas di paru-paru, teruslah berbuat menuju keberhasilan. Lagipula, indikator keberhasilan itu apa sih? Bukankah semuanya: berhasil atau gagal--penghakimannya hanya akan terjadi setelah kita mati? Nah, sebelum kita mati, ayo teruslah berbuat lebih baik. Semangat!!


In English: 

My friends, do you know, to make mistakes is human. 
Not yet successful in life doesn't mean that we have failed. 

All of those are lesson, training, and series of events to make ourselves grow wiser, in hope a self-righteousness will born from each person.


The thing that made different between a great man and a not-so-great man is how they handled their mistakes and the not-yet-successful events.

Great men always learn from their mistakes and the not-yet-successful events, then they will do something right away: change themselves to become a better man in the future. Great men always developing. Improving. Upgrading.
And the not-so-great men is the versa. They don't learn anything from their errors, instead they're just sitting back, relax and satisfied with themselves without any willingness to evolve.


Yes. The key word is "WILLINGNESS TO LEARN" and "DO BETTER". 


In other hand, I personally do not believe in the word "failure". There's no such thing as failure, unless we stopped trying, or died. 


So, while we still have the air in our lungs, keep doing good to achieve your success. Beside, what is the indicator of a success, really? Isn't everything: success or not--only being judged after we all died? Well then, before we die, come on keep doing better things. Keep going!!

10 Januari 2014

Biker yang Aneh

Motornya mirip begini (image: ikamart.com)
Setiap kali berangkat kantor, ada saja keunikan yang saya lihat di jalan. Selain bikers yang stylish--motor, helm, jaket, bahkan sepatu dan ransel warnanya senada. Nice!! (Biasanya mereka ini bikers jarak jauh). Ada juga biker yang cuma sandal jepitan, tanpa helm dan jalannya sradak-sruduk. (yang ini biasanya no SIM, orang lokal, yang naik motor hanya utk ke warung). Beuh..

Nah, hari ini ada biker yang melesat cepat di jalur busway daerah Simprug - Permata Hijau. Wuiiihhh keren betul, pikir saya. Motornya Kawasaki Ninja warna Merah, Putih dan Hitam. Biker-nya juga stylish. Cuman helm-nya aja yang gak sewarna, krn dia pakai helm matahari (kuning) ala Vale Rossi. Tapi, weitsss, sangarrrr! Okelah, kamu keren, pikir saya dalam hati. Sementara itu, saya dan ojek jalan normal melalui jalur Senayan Golf, tembus ke Patal Senayan.

Eh hladalah.. Begitu di Senayan Residences, kok saya dengar lagi suara motor Kawasaki tadi. Pas nengok, eeehh bener.. Si Kawasaki Ninja Merputem (Merah Putih Item) yang tadi, lengkap dengan biker stylish, ransel cihuy (hard case) dan helm kuning Rossi yg gak matching sama motornya. Dia melesat melewati kami.

Saya nyolek Iwan (sopir ojek): "Wan, ini kan yang tadi kita liat di Simprug."
Iwan: "Masa sih, Mbak? Bukannya dia tadi udah lari duluan?"
Saya: "Yoi! Biker yang aneh.."

Begitu kami melintasi Hotel Mulia, LHOOO ketemu Kawasaki Ninja Merputem lagi. Dia terjebak di jalur kiri, karena banyak joki dan mobil berhenti utk sewa joki. Dalam hati saya mikir, "Gimana seh ini biker. Dia gak ngerti jalur apa?" Kali ini kami duluan menyalip dia, krn kami di lajur kanan, utk berbelok ke kanan, ke arah TVRI. Rupanya si Kawasaki Merputem itu juga belok kanan. Dan lagi-lagi terjebak di kemacetan lajur kanan depan TVRI. Kali ini, sambil tertawa, saya ngomong lagi sama Iwan, "Wan, kayaknya bego deh ni biker. Dari tadi di situ-situ aja. Motor gede, berisik, tapi bego."

Di tengah jalan, kembali dia menyusul kami. Okelah. Kami cuma cekikikan aja. Begitu di belokan Farmasi TNI-AL, rupanya Kawasaki Ninja Merputem itu ke arah Benhil juga, dan dia lagi-lagi terjebak macet. Kali ini kami sama-sama ngakak. "Bener, Mbak. Bego nyari jalur tu orang," kata Iwan.

"Iyee, gak beda sama bajaj. Berisik, tapi di situ-situ aja."

Moral of the story: if you want to flaunt, be smart. Huahahahaha..

2 Januari 2014

Apakah Gender Hanya Pemberdayaan Perempuan?

Hari ini saya editing artikel menarik dari Mbak Astrid. Menarik! Saya copas saja yaa di sini. hehehe..


Gender dan Pemberdayaan Perempuan:
Apakah “Gender” Hanya Pemberdayaan Perempuan?

Oleh:
Astrid WijayaTA Selaras
KMP
PNPM Mandiri Perkotaan


Dalam keseharian, tidak jarang kata “gender” disalahartikan dengan perempuan dan segala urusan menyangkut perempuan. Apakah gender memang melulu soal perempuan? Sebagai contoh, dalam berbagai sesi pelatihan menyangkut gender masih sering terdengar komentar seperti: Para gender yang di belakang, berkebaya, silakan maju ke depan. Ataupun dalam beberapa wawancara, sering terdengar: Kita akan meningkatkan peran gender dan laki-laki.

Dalam pemaknaan kalimat-kalimat tersebut jelas bahwa gender ditujukan untuk menggantikan perempuan. Guna menjelaskan kata gender, cara termudah adalah dengan mengerti terlebih dahulu apa perbedaan gender dan sex (jenis kelamin).

Sex atau jenis kelamin sifatnya pemberian Yang Maha Kuasa dan bersifat biologis. Ada dua jenis kelamin yang diakui sejauh ini, yakni laki-laki dan perempuan. Sedangkan, gender adalah konstruksi sosial, muncul akibat jenis kelamin yang berubah dari waktu ke waktu dan bisa saja berbeda di setiap lokasi.

Gender berhubungan dengan ekspetasi sosial masyarakat sekitar yang mengondisikan sesuatu itu boleh atau tidak boleh, pantas atau tidak pantas, etis atau tidak etis, dan senonoh atau tidak senonoh. Pembagian peran gender ini kemudian melahirkan yang dinamakan identitas gender (feminin dan maskulin), peran gender atau gender roles (domestik dan publik), relasi gender atau gender relations (hubungan interaksi antara laki-laki dan perempuan yang dibentuk oleh norma-norma dan ekspetasi masyarakat), dan divisi pembagian kerja berdasarkan gender atau gender division of labour (pembagian status sosial dan eknomi pekerjaan berdasarkan status gender yang berbeda).Oleh karenanya, konsep gender tidak bergantung pada jenis kelamin. Justru, bergantung pada kondisi sosial dan adat budaya setempat.

Mengutip pernyataan terkenal dari Simone de Beauvoir (1949) bahwa one is not born a women but, rather, become one –bahwa gender adalah proses pembentukan pada diri seseorang, yang dimulai dari kecil, dan terinternalisasi ke dalam dirinya melalui hal-hal yang dilihatnya meliputi pembagian kerja orang tua dan masyarakat, pembagian identitas gender, dan hubungan gender yang mengkondisikan hubungan laki-laki dan perempuan di sekitarnya. Jadi jelas bahwa gender itu menyangkut laki-laki dan perempuan dalam konteks konstruksi sosial budaya dan ekonomi.

Lalu mengapa gender diasosiasikan dengan perempuan? Sebagai orang awam, sering kita mendengar bahwa program-program dan lembaga, banyak yang menitikberatkan kepada perempuan. Contoh, dalam pemerintahan ada Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak. Program-program LSM pun banyak yang berfokus pada peningkatan kehidupan perempuan. Slogan-slogan berpusat pada perempuan.

Ada beberapa alasan untuk itu. Pertama, apabila dikaji dengan menggunakan konsep analisis gender, memang ketimpangan banyak terjadi pada perempuan. Yakni, menyangkut akses yang minim terhadap sumber daya, partisipasi dalam kegiatan perencanaan dan pengambilan keputusan Undang-undang yang masih netral gender, sehingga melahirkan manfaat yang tidak merata terhadap perempuan dan laki-laki.

Ketidakadilan gender banyak terjadi pada perempuan. Hal inilah yang kemudian melahirkan banyak kegiatan dan intervensi untuk menaikkan taraf hidup perempuan baik sebagai langkah affirmative action (aksi mendukung) maupun lebih jauh lagi hingga pemberdayaan (empowerment).

Kedua, secara pendekatan konseptual dan teori, gender memang pertama kali dikondisikan dengan pendekatan terhadap perempuan, yakni melalui teori Women in Development (WID). Pendekatan ini dimulai dari adanya tulisan dari Ester Boserup (1970) "Women's Role in Economic Development"—melihat peran perempuan yang besar dalam kegiatan agrikultur dan menyumbang pendapatan negara, tapi tidak dihargai secara material. Laki-laki melakukan pekerjaan dengan bantuan mesin, sedangkan perempuan tetap dengan manual, yang pada akhirnya melahirkan beban ganda dan subordinasi.

Tulisannya mendapat banyak sambutan hangat dari feminis Amerika di Washington dan langsung mengadopsi pendekatan WID ke dalam seluruh pendekatan USAID ke seluruh dunia. Hingga pada tahun 1975 - 1985 ditetapkan sebagai UN Decade for Women. Dalam pelaksanaannya, WID banyak bertumpu pada program-program peningkatan ekonomi khusus pada perempuan (women-only project) seperti mikrokredit, peningkatan kapasitas dan pelatihan dan peningkatan akses perempuan ke kredit.

Pemberdayaan Perempuan: Instrumentalis ataukah Transformasi Kekuasaan yang Sesungguhnya?
Hanya saja, dalam perkembangannya, fokus WID yang terisolasi hanya pada perempuan menuai kritikan, yang kemudian merubahnya menjadi Gender and Development (GAD). Pertama, ketika hanya berfokus pada perempuan, maka transformasi power tidak akan terjadi antara laki-laki dan perempuan, sehingga segala cara yang dilakukan tidak mengatasi permasalahan struktural (enabling environment) tetap menyebabkan posisi perempuan menjadi subordinan laki-laki.

Kedua, WID mencoba mengintegrasikan perempuan ke dunia usaha dalam ranah publik, tetapi tidak mengatasi permasalahan kesenjangan dalam ranah rumah tangga, sehingga malah melahirkan beban ganda bagi perempuan.

Ketiga, WID tidak melihat heterogenitas status sosial, ekonomi dan budaya antarsesama perempuan, dan menganggap perempuan homogen. Padahal dalam banyak contoh kasus, keuntungan dan posisi kepemimpinan hanya melibatkan perempuan elit, yang tidak otomatis membela kepetingan perempuan miskin.

Pendekatan GAD lahir dengan asumsi dasar bahwa sebetulnya akar permasalahan ada pada stuktur kekuasaan dan ketimpangan hubungan gender (unequal gender relations) lah yang menghalangi pembangunan dan partisipasi perempuan. Puncak dari era ini adalah lahirnya strategi Pengarusutamaan Gender pada 1995 melalui Beijing Conference. Pendekatan ini kemudian tidak hanya bertumpu pada pendekatan ekonomi khusus pada perempuan sebagai welfare approach, tapi hingga pemberdayaan sesungguhnya (empowerment). Karena, ternyata pendekatan ekonomi dan peningkatan pendapatan tidak serta merta mendobrak ketidakadilan gender yang dialami perempuan, selama struktur kekuasaan (budaya, ekonomi, politik) tidak berubah.

Segala upaya intervensi tidak melulu kepada peningkatan ekonomi, melainkan didukung oleh perubahan paradigma dan transformasi kekuasaan laki-laki kepada perempuan, termasuk meningkatkan peran perempuan dalam posisi pengambilan keputusan. Strategi yang digunakan pun tidak melulu bertumpu pada perempuan, tapi sudah mengakomodasi kebutuhan, pengalaman, aspirasi dan ketidakadilan yang dialami laki-laki. Paradigma melihat laki-laki bukan lelaki sebagai masalah, tapi sebagai mitra sejajar yang harus mulai dilibatkan dalam upaya-upaya mencapai kesetaraan hubungan keduanya.

Di Indonesia sendiri, kini hadir beberapa Aliansi dan gerakan pelibatan laki-laki untuk mencapai kesetaraan gender. Namun tentunya perlu waktu dan proses yang tidak cepat hingga sampai ke ranah paradigma kesetaraan gender dimana tidak ada lagi pelabelan negatif dan pengkotak-kotakan peran yang berasal dari pembakuan peran yang tidak adil terhadap laki-laki dan perempuan.

Peran informasi dan advokasi saja tidak cukup untuk meningkatkan peran perempuan dalam ranah publik. Namun, perubahan pada tataran struktural dan paradigma-lah kunci utamanya. Itulah upaya sejati untuk menggapai kesetaraan dan keadilan gender. Ketika hubungan antara laki-laki dan perempuan dan antara perempuan dan perempuan sudah tidak lagi dibeda-bedakan, antara kaya miskin dan pembakuan peran gender yang merugikan, niscaya itulah kesetaraan (equality) dan keadilan (equity) yang sesungguhnya. [KMP 2]

Editor: Nina Firstavina

[CerpeNina] The Promise (1)


"Apa yang Mia pikirkan saat melakukannya? Bukankah semua itu adalah rahasia hidup Mia? Coba pikirkan jawabannya. Karena ada benang merahnya."

Mia tertegun membaca rangkaian kalimat yang tercetak di layar sentuh smartphone-nya. Kalimat yang diketik Gusti. Mia tak mengerti kenapa Gusti begitu penasaran dengan jawabannya. Ini adalah ketiga kalinya Gusti menanyakan hal serupa, baik lewat messenger maupun telepon.

"Iya sih itu rahasia Mia. Tapi entah apa yang Mi pikirkan. Mi hanya ingin membaginya kepada Kanda," balas Mia. Jawaban yang sama, setiap kali Gusti menanyakan hal tersebut. Ya, habisnya mau jawab apa lagi. Memang begitu adanya.

"Hemmm.. jadi spontan, tanpa rencana? Ya artinya Mia tulus. Dan itu juga artinya Mia memercayakan harga diri Mia kepada Kanda," tulis Gusti. Dan ia masih typing..

Mia tertegun lebih dalam. What? Kenapa reaksi Gusti malah begitu? Ini di luar dugaannya. Mia pernah berbagi rahasia gelap dengan 2-3 laki-laki lain sebelumnya, tapi tak satupun reaksi mereka seserius Gusti.

"Dan, bagi Kanda, menjaga harga diri Mia bukanlah hal main-main. Ini lebih berat daripada menjaga rahasia. Menjaga rahasia itu mudah, tapi menjaga harga diri... aduh, mak!"

"Maafkan Mia, Kanda.."

"Hehe.. Tidak perlu minta maaf, sayang. Kanda senang bahwa Mia begitu percaya pada Kanda. Malah Kanda yang bingung, apa yang Mia lihat dari Kanda, sampai percaya begitu," balas Gusti lagi.

"Mia pikir Kanda amanah. Sejak pertama melihat mata Kanda, Mia merasa seperti ditelanjangi. Tak ada yang bisa Mia sembunyikan dari Kanda. Termasuk perasaan Mia terhadap Kanda," jemari Mia lincah menekan layar sentuh. Mulutnya penuh senyum.

Mengaku suka sebenarnya tetap membuatnya tersipu, meski usia Mia tidak lagi bisa dibilang ABG. Dua-puluh-delapan, seharusnya sudah tak lagi sungkan mengakui perasaan. Tapi, tetap saja. Mia tergelak sendiri membaca balasan-balasan bernada canda selanjutnya dari Gusti.

Hatinya dipenuhi kehangatan. Perutnya terasa digelitik ribuan kupu-kupu yang beterbangan membebaskan diri dari kepompongnya masing-masing. Dada Mia terasa dialiri listrik bertegangan satu megawatt, tapi satu-satunya yang terbunuh adalah keraguannya.

"Mia, serius, apapun yang terjadi, Kanda tidak akan meninggalkan Mia. Apapun keadaannya, Kanda akan terus mendampingi langkah Mia. Itu janji Kanda. Dan, Kanda kalau sudah bilang A, sampai mati akan tetap A, ngga berubah menjadi B, apalagi C," kata Gusti tiba-tiba, membuat Mia semakin terpukau.

Rasa sukanya mendadak meledak menjadi kekaguman tak berbatas. Ledakan yang menghasilkan percikan bara cinta. Hawa panasnya mulai menghangatkan seluruh sel tubuh Mia, membangunkan rasa yang dikira Mia telah mati seiring luka dari kisah hidup sebelumnya.

"Ya Allah. Masya Allah, tahukah, Kanda sungguh indah. Padahal Mia pikir chivalry is dead. Kirain sikap ksatria sebagai true gentleman itu sudah mati. Kok bisa sih, Kanda?"

Gusti hanya membalas dengan ikon peluk, cium dan lovestruck.

Di kamarnya, Mia menghela nafas panjang. Jadi beginilah keadaannya. Allah yang Maha Baik akhirnya mengirimkan salah satu malaikat berbentuk manusia. Dan utusan-Nya itu berada di ujung sana, mengetik rangkaian kalimat tulus, mengucap janji, yang biasanya hanya diucapkan oleh seorang suami kepada istri tercinta. Fakta logis ini membuat Mia merinding bahagia. Sensasinya menyerupai puluhan kali letupan orgasme kecil, tak dibuat-buat, tak dikendalikan dan tak terhentikan.

Yaaa. Mia benar-benar jatuh cinta kepada Gusti.

(Bersambung..) ^_^

16 Desember 2013

Existed

My Dier,
I wish you were here..

Laying next to me.
Sleeping.
And I will stay awake to see your peaceful sleeping face.

I’d love to listen to your heart beat–does its beat calling out my name? ;)
I’d love to feel your breathe against my face, for it might be the most blissful breeze I’ve ever felt.
I’ve never knew such amazing creature existed, until I met you.

I used to stop believing in romance, until you look me right into my eyes.
I used to stop believing in love, until you came and gave me one.

Thank you for taking chance and made me see that you are exist.
And your existence IS the reason why I am existed.

18 November 2013

The Land of Papua

photo by thejakartapost
Good evening Comrades,

I will fly to Papua Island tonight. The destination is the city of Manokwari, West Papua. According to google map, the distance between Jakarta and Manokwari is about 4,500 km away to the east.

Tonight, my plane--Sriwijaya Air--will takeoff (inshallah) from Soekarno Hatta International Airport at 00.05 WIB--Western Indonesian Time, with Sriwijaya Air. There will be one time transit for the avtur at Sultan Hasanuddin International Airport in Ujung Pandang (Makassar)--my favorite airport in Indonesia. And then, 40 minutes later, we will take off again to Manokwari, and predicted will be arrive at the Rendani Airport, Manokwari at 08.45 local time (WIT--Eastern Indonesian Time, which is 2 hours faster than WIB).

I have contacted the PNPM Mandiri Perkotaan office in Manokwari. Unfortunately, the Team Leader, one of my good friends since this program still named under P2KP or UPP (Urban Poverty Program) will not be there to welcome me. He's on duty to Makassar. So, he left everything to Mr. Ari Paputungan, his Monitoring and Evaluating Specialist. Mr. Paputungan is also my good friend, eventhough we're not often meet due to distance and busy schedules, but we are good team.

Anyways, I will try to connect to internet and write a little about my days there. Otherwise, we will have to wait until Nov 22, it's when I'm coming back to Jakarta.

Wish me luck! ;)

miss you the most when it's raining

There is a place along the equator. About 7hrs to the east of GMT. There lies an archipelago, consisted of five large lands hundreds of small islands, and thousands of coasts..

That country is Indonesia. My motherland and my father-ocean.

In this kind of month, and at the end of each year, the monsoon wind has shifted. Changing the dry season to become rainy season.

And..

I miss you the most when raining.
And it's been raining a lot now..

...

My religion taught me, Allah revealed the barrier between human and His Grace, on each rain. That is the time when Allah send Mikhail, the angel of fortune, to pour goodness and prosper to the earth. And, it is also the best time to say our prayer.

And so, my dear Allah, please hear the prayer of your humble servant. This prayer of mine..
Please protect and keep safe the people I love so dearly. Please keep their hearts to cherish Your every blessing. Please love them much more than I do. 
"Hasbunallah wa ni'mal wakil. Ni'mal maula wa ni'man nasiir."
There's no better protector, but You. There's no better savior, but You.

I put all my hope, trust, faith, fate of life and love in Your strong hands, Oh Allah. You always know what's better for me. For all of us. Therefor, please keep blessing me with patience and wisdom. Aamiin..

17 November 2013

[TS] On The Road Photos

Good evening, Comrades!

Lately, I have a new hobby.  Since I always ride the motor-taxi now, I have time to look around. Observing the motorcyclists--we often call them "riders"--I met on the road. Day by day, these riders fascinated me. I will not comment how they ride. I prefer to comment about what they're wearing.

And to be honest, mostly, my eyes focused on their shoes. Hahaha.. Not that I'm a foot-fetish, but I do love shoes. ^_^

Okay, here comes the first pic..

firstavina.net says, nice shoes!
nice shoes! :)
The pic on the left, obviously, I love the shoes. My type of shoes: flat, earth-colored moccasin. Honestly, I'm not so good when it comes to fashion. I only wear things I liked and look pretty fit for me.

In my younger time, I always wear snickers. I love its durability and I can use it for a long walk without hurting my feet. But I stop using snickers when I begin my career. When I was still a journalist, wearing snickers was not a problem at all, but then I was assigned to government institutions which require a semi-formal clothing. Even for journalists. So, yeah, I started to turn my head to a more formal fashion, and shoes.

For clothings, I was still quite stubborn to keep my casual style, plus denim jacket and backpack. ^_^ But for shoes, my choice was flat (or maximum 3 cm heels) moccasin. I don't do leather shoes. I like them, but they're tough to maintain. I did use several leather shoes, and then the leather started to wrinkle and fell apart. It made the entire shoes look terrible. So, moccasin is the right type of shoes for me. Hmm..
firstavina.net says, nice jacket!
nice jacket!
Next pic, on the right. I love the jacket! Again, brown, earth-colored. I love earth colors. Synthetic (artificial) leather. Doesn't matter. It still looks cool on her. ^_^

Anyways, even though I love the jacket, I never use leather or synthetic leather jacket.

But recently my daughter bought me a synthetic leather jacket from anime series: Shingeki No Kyojin or Attack on Titan. The soldiers' jacket on the anime is really stylish.

Akatsuki
Actually, I was aiming for the long coat of Akatsuki (from Naruto shiipuden anime series). Because it's long--below knee length--black colored, contrasted with the red kintoun (holy cloud) emblem attached to it, and red layer inside. (see pic on the left, or click here).

But, this Shingeki No Kyojin jacket my daughter bought me was pretty nice. A little tight though--and Audi (my daughter) told that she bought smaller size on purpose, so that I can go on diet to use it. What the.... ~ bad daughter! *sigh* Hehehehe.. ^_^

firstavina.net says, nice pashmina!
nice pashmina!
Ow-kay.. next pic on the left... Ooh.. a mixed patterns-with-paisley accent pashmina. It's pashmina, and it has paisley pattern!! Perfect combination. And the terracotta color made it more fascinating (for me) to see.

Oh, yeah, as you may see, I love pashminas. I ocassionally wear it as my hijab (head scarf). I personally love plain or simple patterns. And of all the patterns exist in this world, I love traditional ones. And paisley certainly IS one of the traditional patterns.

Perhaps, you, my dear reader-comrades, already knew what paisley is. It's said, paisley pattern is a design using the boteh or buta, a droplet-shaped vegetable motif of Persian or Indian origin. Such a lovely pattern indeed!

firstavina.net says, nice style!
nice style!
Now, pic on the right....
This girl knew how to look good on motorcycle. She uses a backpack of the same color with her ride. And the red color of this motorcycle is so nice! Love it.

If you can see the inzet (upper left of the pic), it's taken when I was about 10 meters behind her. Then, she went slower to take the right turn, and we got passed her. I was lucky to have succeeded to take a snap shot right before we went separate way. ^_^

Drive safely, sister!

Now, the picture below. Can you guess? Yes, it's a Mazda 2 hatchback. One of the perfect types of city car. Somehow, every time I hit the road, this type of green Mazda 2 always caught my eyes' attention. There are many green hatchback type of cars all over Jakarta. You know, like green-colored Mitsubishi Mirage, green-colored Honda Jazz, green-colored Kia Visto, green-colored Proton Savvy, green-colored Chevrolet Spark, green-colored Suzuki Karimun, green-coloredNissan Juke, green-colored Hyundai Atoz or Gets, or green-colored Toyota Yaris. But Mazda green, IMHO, is the most appealing green-colored hatchback. As the matter of fact, it's probably the most appealing green-colored CAR ever existed in Indonesia. I love it. But, I can't afford to buy it. Hahaha.. One day, maybe.

firstavina.net says, nice car!
nice car!
Since Jakarta is a very crowded place, complete with stressful heavy traffic, and loooong queue line just to get through a simple intersection with traffic light, hatchback becomes a very ideal type of city car. It's small but not too narrow, and not too heavy in weight, so it's more agile. Beside, as a Jakartan driver, you must be VERY agile and skillful. MUST go FAST, but drive safely. Otherwise, riders behind you will suffer your slowness and recklessness. That's why it's really hard to be punctual in Jakarta. Everything depends on the traffic. If you don't want to be late, you must go like 2-3 hours before the rendezvous time. Better early than late.

Yeah, it's that bad.

Okay, that's all for tonight's entry. See you in more of "On the road Photos" entry series.

Drive safely!

Have a Safe Flight

To my dearest chipped-tooth boy
*haha*

image: transitionculture.org
image: transitionculture.org


Have a safe flight!


May Allah wrap His warm arms around you, and keep you safe where ever you are.
Best of luck with the new business. Look forward to hear from you again.
Take care..

13 November 2013

Learning to not afraid of Loneliness, part 1

It's past midnight, reaching Wednesday, and I'm still unable to sleep. My eyes already protested, but somehow I refuse to fall asleep.

And so I decided to message my bestfriend, Ali. He's been my buddy since 1989. Yep. Since junior high or 7th grade. We were at the same class. And two years later, 9th grade, or the final year of junior high, we sat on the same bench.

The normal classroom in state school of Indonesia, usually arranged in 4-5 columns and 4-5 rows, depends on the number of the students in the class. We sat on a wooden bench (about 1,5 meter in length) and write on the wooden desk. So the bench can be sat by two students. And at that final year, the class seat arrangement was boy-girl on every bench. Okay, so now you know. And yes, Ali was my bench-mate in 9th grade.

Since the first time I knew him, Ali is really a nice boy, sincere and dependable. But he's a little rebellious. We get along well. And I wasn't exactly a calm girl in my teenage. I'm a boyish, supple, but very strict. I don't like chit-chat. I like to-the-point talks.

Wait, you might think I'm a strong character person, but I honestly think, it's "only" the result of being raised by my Papa. Well, my Mama and Papa were divorced since I was 7-8 y.o. In the end, Mama took care of my sister and I lived with Papa. And Papa was a very busy person. He's a flight officer, so he almost always fly for duty to another city or island, or even abroad to Australia, Europe and Africa. Mama was also a working mom. She tried her best to make time to visit me regularly, since we live in different city. Me and Papa lived in Jakarta, Mama works in Bandung and my little sister Pritha being taken care by Oma-Opa in Tasikmalaya. So, Mama was a tough woman indeed. :)

Anyways... back to Ali. We reunited after 20 years (we graduated junior high on 1991 and met again on year 2010/2011). Actually, Ali found me on facebook. It must be not so hard for him to trace me, since I'm a very narcissistic cyber citizen. Hahaha.. And because I have a very easy name to remember, but not easy to duplicate. I'm talking about my "firstavina" name. None else in this world using that name. Thanks for naming me so differently, Papa. I LOVE to be different! ^_^

It seems like my old time friends who noted my name in the back on their minds and spell it correctly as keyword in google or facebook (hahaha..) finally found me! One of them, was Ali. After that some other junior high friends of ours began to reconnect us. So we "ended up" maintaining this renewed friendship altogether again. At least 40 of junior high fellas and ladies are now reconnected, and we love to hang around, spending time together.

The funny thing is, Ali traced me first because we both turned out having the same profession: journalists. Hahahaha.. What a crazy world! We never thought that we, the bench-mates in junior high, living the same career as journalists, writers and editors--and we're loving it! You know how journalists have incredible links with each other? Not just for news, but also friendship and work-ships. *LOL*

Apparently, Ali told me, I was quite "knownable" person in the field, while interviewing or collecting data for news report. This is fascinating, because I never thought I'm kinda famous among fellow journalists in Jakarta. hahaha.. ^_^ And thankfully, they heard me by integrity, not bad behavior. Hey! I'm a nice person. I never act wild or disrespectful. That's why people liked to be my friend--I think. *LOL*

Okay, so, Ali found out about me from his college buddy. Seemed like his college-buddy knew me well, but I didn't remember him at all.. *LOL* Sorry about that, mate! Ali's buddy knew exactly where I usually stand by: Police HQ, Attorney General Office and House Representatives (MPR/DPR). Ow-kay... ^_^  And to learn that, Ali said, he's pleased. He thought, I turn out doing a good job.

In short, Ali found me, messaged me, and hell yeah of course I still remember him! It's impossible for me to forget good friends. And in my dictionary, there's no such thing as EX FRIENDS. So, Ali and I were bestfriends again. He's now married and has a daughter. Nice! ^_^ And I have no problem with that, because I believe, a married man and a married woman can still be bestfriends. Especially if they were already bestfriends in the past.

And tonight, I messaged Ali--oh, I call him by the name "Allay" since 7th grade. Indonesian today understand term "Allay" as a teenage rookie, but I swear I already called Allay by that name since 1989! ^_^ I messaged him and asked him if I disturbed him whatsoever. He said, no. Go ahead. So, there... I began to tell him about what's bothering my mind today.

Oh, we shared so much stories of our lives already. Things that worried us, and we're giving advices to each other. Telling each other to stay patient, stay faithful to Allah's will, and stay positive thinking. You know, things that normal bestfriends do: encourage and strengthen each other.

But tonight was a little different. Tonight I was talking about heart. Feelings.

No. Not feelings for him, but for iSky.

Of course, he knew about iSky. I told him so. I told him that I'm in love with this guy I never met before. Not even know his real face. I only trust this guy and he has the quality that fit to mine. And since Ali knew me very well, didn't laugh at my story. Not even judged me. He trusted me and trusted my opinion. So if I said I'm in love with someone, it must be for a very strong reason. Regarding I'm no longer a young girl! Heck, we BOTH--me and Ali--are no longer young people! ^_^

But iSky IS. He's so young. And by saying young, it's an honest compliment. When I was his age, it's my golden years.

Ehm.. you know what.. I will continue this story on the next entry. Hahaha... Sorry.. Need to go now.. ^_^ Wait for my part 2.