Gender dan Pemberdayaan Perempuan:
Apakah “Gender” Hanya Pemberdayaan Perempuan?
Oleh:
Astrid WijayaTA Selaras
KMP
PNPM Mandiri Perkotaan
Dalam keseharian, tidak jarang kata “gender” disalahartikan dengan perempuan dan segala urusan menyangkut perempuan. Apakah gender memang melulu soal perempuan? Sebagai contoh, dalam berbagai sesi pelatihan menyangkut gender masih sering terdengar komentar seperti: Para gender yang di belakang, berkebaya, silakan maju ke depan. Ataupun dalam beberapa wawancara, sering terdengar: Kita akan meningkatkan peran gender dan laki-laki.
Dalam pemaknaan kalimat-kalimat tersebut jelas bahwa gender ditujukan untuk menggantikan perempuan. Guna menjelaskan kata gender, cara termudah adalah dengan mengerti terlebih dahulu apa perbedaan gender dan sex (jenis kelamin).
Sex atau jenis kelamin sifatnya pemberian Yang Maha Kuasa dan bersifat biologis. Ada dua jenis kelamin yang diakui sejauh ini, yakni laki-laki dan perempuan. Sedangkan, gender adalah konstruksi sosial, muncul akibat jenis kelamin yang berubah dari waktu ke waktu dan bisa saja berbeda di setiap lokasi.
Gender berhubungan dengan ekspetasi sosial masyarakat sekitar yang mengondisikan sesuatu itu boleh atau tidak boleh, pantas atau tidak pantas, etis atau tidak etis, dan senonoh atau tidak senonoh. Pembagian peran gender ini kemudian melahirkan yang dinamakan identitas gender (feminin dan maskulin), peran gender atau gender roles (domestik dan publik), relasi gender atau gender relations (hubungan interaksi antara laki-laki dan perempuan yang dibentuk oleh norma-norma dan ekspetasi masyarakat), dan divisi pembagian kerja berdasarkan gender atau gender division of labour (pembagian status sosial dan eknomi pekerjaan berdasarkan status gender yang berbeda).Oleh karenanya, konsep gender tidak bergantung pada jenis kelamin. Justru, bergantung pada kondisi sosial dan adat budaya setempat.
Mengutip pernyataan terkenal dari Simone de Beauvoir (1949) bahwa one is not born a women but, rather, become one –bahwa gender adalah proses pembentukan pada diri seseorang, yang dimulai dari kecil, dan terinternalisasi ke dalam dirinya melalui hal-hal yang dilihatnya meliputi pembagian kerja orang tua dan masyarakat, pembagian identitas gender, dan hubungan gender yang mengkondisikan hubungan laki-laki dan perempuan di sekitarnya. Jadi jelas bahwa gender itu menyangkut laki-laki dan perempuan dalam konteks konstruksi sosial budaya dan ekonomi.
Lalu mengapa gender diasosiasikan dengan perempuan? Sebagai orang awam, sering kita mendengar bahwa program-program dan lembaga, banyak yang menitikberatkan kepada perempuan. Contoh, dalam pemerintahan ada Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak. Program-program LSM pun banyak yang berfokus pada peningkatan kehidupan perempuan. Slogan-slogan berpusat pada perempuan.
Ada beberapa alasan untuk itu. Pertama, apabila dikaji dengan menggunakan konsep analisis gender, memang ketimpangan banyak terjadi pada perempuan. Yakni, menyangkut akses yang minim terhadap sumber daya, partisipasi dalam kegiatan perencanaan dan pengambilan keputusan Undang-undang yang masih netral gender, sehingga melahirkan manfaat yang tidak merata terhadap perempuan dan laki-laki.
Ketidakadilan gender banyak terjadi pada perempuan. Hal inilah yang kemudian melahirkan banyak kegiatan dan intervensi untuk menaikkan taraf hidup perempuan baik sebagai langkah affirmative action (aksi mendukung) maupun lebih jauh lagi hingga pemberdayaan (empowerment).
Kedua, secara pendekatan konseptual dan teori, gender memang pertama kali dikondisikan dengan pendekatan terhadap perempuan, yakni melalui teori Women in Development (WID). Pendekatan ini dimulai dari adanya tulisan dari Ester Boserup (1970) "Women's Role in Economic Development"—melihat peran perempuan yang besar dalam kegiatan agrikultur dan menyumbang pendapatan negara, tapi tidak dihargai secara material. Laki-laki melakukan pekerjaan dengan bantuan mesin, sedangkan perempuan tetap dengan manual, yang pada akhirnya melahirkan beban ganda dan subordinasi.
Tulisannya mendapat banyak sambutan hangat dari feminis Amerika di Washington dan langsung mengadopsi pendekatan WID ke dalam seluruh pendekatan USAID ke seluruh dunia. Hingga pada tahun 1975 - 1985 ditetapkan sebagai UN Decade for Women. Dalam pelaksanaannya, WID banyak bertumpu pada program-program peningkatan ekonomi khusus pada perempuan (women-only project) seperti mikrokredit, peningkatan kapasitas dan pelatihan dan peningkatan akses perempuan ke kredit.
Pemberdayaan Perempuan: Instrumentalis ataukah Transformasi Kekuasaan yang Sesungguhnya?
Hanya saja, dalam perkembangannya, fokus WID yang terisolasi hanya pada perempuan menuai kritikan, yang kemudian merubahnya menjadi Gender and Development (GAD). Pertama, ketika hanya berfokus pada perempuan, maka transformasi power tidak akan terjadi antara laki-laki dan perempuan, sehingga segala cara yang dilakukan tidak mengatasi permasalahan struktural (enabling environment) tetap menyebabkan posisi perempuan menjadi subordinan laki-laki.
Kedua, WID mencoba mengintegrasikan perempuan ke dunia usaha dalam ranah publik, tetapi tidak mengatasi permasalahan kesenjangan dalam ranah rumah tangga, sehingga malah melahirkan beban ganda bagi perempuan.
Ketiga, WID tidak melihat heterogenitas status sosial, ekonomi dan budaya antarsesama perempuan, dan menganggap perempuan homogen. Padahal dalam banyak contoh kasus, keuntungan dan posisi kepemimpinan hanya melibatkan perempuan elit, yang tidak otomatis membela kepetingan perempuan miskin.
Pendekatan GAD lahir dengan asumsi dasar bahwa sebetulnya akar permasalahan ada pada stuktur kekuasaan dan ketimpangan hubungan gender (unequal gender relations) lah yang menghalangi pembangunan dan partisipasi perempuan. Puncak dari era ini adalah lahirnya strategi Pengarusutamaan Gender pada 1995 melalui Beijing Conference. Pendekatan ini kemudian tidak hanya bertumpu pada pendekatan ekonomi khusus pada perempuan sebagai welfare approach, tapi hingga pemberdayaan sesungguhnya (empowerment). Karena, ternyata pendekatan ekonomi dan peningkatan pendapatan tidak serta merta mendobrak ketidakadilan gender yang dialami perempuan, selama struktur kekuasaan (budaya, ekonomi, politik) tidak berubah.
Segala upaya intervensi tidak melulu kepada peningkatan ekonomi, melainkan didukung oleh perubahan paradigma dan transformasi kekuasaan laki-laki kepada perempuan, termasuk meningkatkan peran perempuan dalam posisi pengambilan keputusan. Strategi yang digunakan pun tidak melulu bertumpu pada perempuan, tapi sudah mengakomodasi kebutuhan, pengalaman, aspirasi dan ketidakadilan yang dialami laki-laki. Paradigma melihat laki-laki bukan lelaki sebagai masalah, tapi sebagai mitra sejajar yang harus mulai dilibatkan dalam upaya-upaya mencapai kesetaraan hubungan keduanya.
Di Indonesia sendiri, kini hadir beberapa Aliansi dan gerakan pelibatan laki-laki untuk mencapai kesetaraan gender. Namun tentunya perlu waktu dan proses yang tidak cepat hingga sampai ke ranah paradigma kesetaraan gender dimana tidak ada lagi pelabelan negatif dan pengkotak-kotakan peran yang berasal dari pembakuan peran yang tidak adil terhadap laki-laki dan perempuan.
Peran informasi dan advokasi saja tidak cukup untuk meningkatkan peran perempuan dalam ranah publik. Namun, perubahan pada tataran struktural dan paradigma-lah kunci utamanya. Itulah upaya sejati untuk menggapai kesetaraan dan keadilan gender. Ketika hubungan antara laki-laki dan perempuan dan antara perempuan dan perempuan sudah tidak lagi dibeda-bedakan, antara kaya miskin dan pembakuan peran gender yang merugikan, niscaya itulah kesetaraan (equality) dan keadilan (equity) yang sesungguhnya. [KMP 2]
Editor: Nina Firstavina
Tidak ada komentar:
Posting Komentar