Cerita pendek berikut ini sudah cukup lama berada di kepala saya, tapi belum sempat juga saya tuliskan. Sempat "galau" memikirkan judulnya apa, karena memang saya paling blo'on kalau disuruh membuat judul tulisan. Kaget kan, ternyata seorang editor juga bisa kesulitan membuat judul. Hehehehe...
Tapi tadi pagi, saat saya menyambangi grup BBM "doefanbla$t", seorang kawan saya mengungkapkan kalimat "Bulan di Atas Ranting". Meski saya tidak menanyakan makna sebenarnya dari pepatah, saya langsung bisa menangkap artinya. Saya juga langsung terpikir, "Ini dia! Judul yang pas buat cerpen saya."
So, here it is. Selamat membaca... :)
Hana mempercepat langkahnya. Kakinya cekatan menuruni anak-anak tangga.
"Hey, mau ke mana, Han?" tegur Indra yang kebetulan berpapasan di tangga.
"Lagi ada perlu, Pak. Nanti saya balik lagi kok," jawab Hana seraya melambatkan langkah.
"Oke deh," Indra mengangguk-angguk. Sebetulnya ia tidak terlalu peduli Hana akan betulan kembali ke kantor atau tidak. Ia hanya iseng bertegur sapa.
Sesampai di area parkir, setengah berlari Hana menghampiri Mazda 2 hijaunya. Hamparan area parkir berlantai beton tampak begitu menyilaukan. Maklum, sinar matahari Senin sore itu masih terik. Gumpalan awan seakan lautan domba gemuk bergelantungan di langit. Udara yang berputar pelan terasa gerah, tapi Hana malah menggigil. Tak sabar rasanya ingin segera tiba di tempat tujuan.
Lima menit berikutnya, Hana sudah melajukan mobilnya di tol dalam kota. Kencang. Sesekali ia mengambil lajur kiri, melambatkan laju guna membalas pesan di Blackberry-nya.
"Kalau memang sibuk dan tidak sempat, ya tidak apa-apa. Tapi kalau sempat, saya akan senang sekali." Begitu tulisan di Blackberry Messenger Hana. Senyum kecil terbit di sudut bibirnya.
"Saya sudah di tol dalam kota lho. Sampai ketemu nanti, ya." ketik Hana cepat-cepat. Jempol kanan Hana cekatan mengetik di atas keyboard qwerty dakota putihnya itu.
Tak berapa lama, masuk lagi sebuah pesan. "Kira-kira berapa lama sampai di bandara? Saya tunggu di Kedai Anglo ya."
Hana kembali tersenyum. "Sekitar 35-40 menit. Oke nanti saya langsung ke TKP."
Sepanjang jalan, yang Hana pikirkan adalah percakapannya dengan Wishnu lewat Blackberry Messenger, semalam. Percakapan yang diawali dengan kalimat-kalimat formal, karena Wishnu adalah koleganya. Rangkaian kalimat dialog mereka berlanjut menjadi obrolan yang mengalir, hangat, bahkan terselip curhat, seakan mereka adalah kawan yang sudah akrab selama bertahun-tahun.
Ujung-ujungnya, hati Hana dan Wishnu saling klik dan tertaut, laksana anak kunci terputar ke arah yang tepat lalu menyenggol kaitan kunci. KLEK. Kaitan terlepas, pintu mulai terbuka lebar, tak lagi terkunci. Arus perasaan berlomba berdesakan keluar dari pintu yang terbuka. Rasa yang berwarna-warni. Senang, cemas, gembira, khawatir, berharap, optimis, pesimis. Pelangi hati.
Hanya saja, Hana masih takut mengartikan rasa itu sebagai jatuh cinta. Biarlah waktu yang menjawab. Begitu Hana berjanji pada dirinya sendiri.
"Yang jelas, saya tidak mau mengkhawatirkan hal-hal yang belum terjadi dan belum ada. Saya hanya ingin menikmati apa yang sedang saya rasakan saat ini dan sekarang. Ke depannya, adalah harapan. Tak lebih. Harapan yang memotivasi, memberi semangat hidup." Tulis Hana semalam, sebelum ia mengakhiri chatting mereka.
"Mantap. Saya setuju," balas Wishnu di ujung sana.
"Jadi, mari kita nikmati detik ini. Dan detik-detik berikutnya, selama takdir masih terasa bersahabat terhadap kita. :) " Tulis Hana lagi.
"Siapa takut?" jawab Wishnu.
Hari itu, Wishnu harus segera kembali ke Banda Aceh. Hana tahu itu, karena semalam mereka juga membahasnya. Lalu jika Hana menemui Wishnu di Bandara Soetta sebelum dia take off, itu bukanlah sesuatu yang sebelumnya direncanakan. Bahkan tadi pagi, Hana tidak berpikir untuk menyusulnya. Rampungnya tugas lebih cepat dari perkiraan, plus telepon dari Wishnu siang itulah yang membuatnya berubah pikiran.
Entah kenapa, Hana mendadak merasa harus bertemu Wishnu, meski hanya sebentar. Ia bahkan tak mengindahkan udara nan panas dan padatnya tol dalam kota menuju Bandara. Yang Hana pikirkan adalah mencapai Bandara secepat mungkin dan selamat. Sungguh, ia harus bertemu Wishnu.
Ketika akhirnya Mazda 2 hijau itu terparkir rapi di area parkir Bandara, hati Hana semakin mantap. Semantap langkahnya menuju Terminal 1A - Departure. Ia sempat bingung mencari Kedai Anglo seperti yang dikatakan Wishnu tadi.
Di mana... di mana... di manaaa.. Hana mulai bernyanyi dalam hati, menghibur diri sambil menetralisir rasa gembiranya agar tidak terlihat berlebihan. Mata kecilnya mencermati sekeliling. Sayang, ia tetap tidak menemukan nama kedai dimaksud. Sampai akhirnya ia melangkahkan kaki ke arah toilet, di balik tangga besar.
Ah, itu dia! Betul, itu dia kedainya! Hati Hana bersorak girang. Langkah kakinya panjang-panjang menghampiri kedai. Di pintu, Hana disapa oleh seorang greeter yang ramah. Hana balas tersenyum seraya mengatakan ia sudah ditunggu temannya di dalam. Kemudian, mata Hana mencari ke sekeliling ruangan.
Matanya segera bertumbuk dengan sepasang mata indah, yang sudah berhasil membuat Hana tertarik sejak awal ia membaca laporan dan resume Wishnu di salah satu berkas yang tertumpuk di desk-nya. Mata indah berbentuk biji pecan yang sejodoh dengan bibirnya. Mata cokelat dan bibirnya yang senantiasa menyunggingkan senyum tipis. Menggoda.
Hana pun terpana. Hatinya terpanah. Wishnu!
Detik itu pula, bagi Hana, waktu terhenti. Membeku. Lagi-lagi Hana menggigil. Mati-matian ia berusaha menahan diri agar tidak berteriak atau tertawa kesenangan.
Setelah berhasil menguasai diri, ia melambaikan tangan yang dibalas dengan lambaian tangan oleh Wishnu. Hana melangkah ringan memasuki ruangan, menghampiri pojok ruangan, tempat Wishnu menunggu.
Mereka berjabat tangan, saling melemparkan sapaan hangat, lalu duduk bersebelahan di sofa panjang itu. Lucunya, tangan mereka tidak terlepas, malah saling menggenggam.
"I can't believe you are actually here," desis Wishnu, tertawa kecil, lalu menatap Hana lekat-lekat.
"I can't believe it myself!" jawab Hana, tersenyum geli, sambil terus membalas tatapan Wishnu. Ia nyaris merasa terhipnotis.
Mata Wishnu begitu dalam. Nyaris segaris. Misterius. Hana suka. Suka sekali. Mata yang teduh. Tatapan cerdas dan ramah menenangkan. Hana sangat suka. Hana jatuh cinta. Ya, jatuh cinta. Tampaknya Wishnu pun merasakan hal serupa. Buktinya, mereka duduk begitu dekat. Nyaris berpangkuan, saking lekatnya.
Hana merentangkan lengan kanannya ke bawah ketiak Wishnu, merangkulnya hangat, lalu membelai lembut punggungnya. Tubuh Wishnu hangat. Sangat hangat. Atletis. Padat dan liat. Tapi yang jelas, tubuh ini hangat. Sehangat karakter Wishnu. Sehangat tatapannya.
Tidak banyak kata yang terucap di antara mereka. Hanya saling menatap. Saling tersenyum. Wishnu berkali-kali mencubit dirinya, merasa tak percaya bahwa Hana ada di hadapannya.
"Ini bukan mimpi kan? Ini nyata kan?" ujarnya berulang kali.
"Ini nyata, sayang. Sangat nyata. Begitu juga perasaan saya. Semua yang saya tulis dan kita sharing sejak beberapa malam terakhir, adalah nyata," kata Hana, setengah berbisik di telinga Wishnu.
Sinar mata Wishnu begitu bahagia. Sunggingan senyumnya begitu penuh arti, membuat Hana semakin terperosok jatuh ke dalam pelukan kubangan cinta yang terhampar di depannya. Dalam hati, Hana berseru, 'Ini dia, laki-laki yang mengerti saya. Mengerti pekerjaan saya. Mengerti hati saya!' Seruan yang sama rupanya juga bergema, memenuhi ruang jantung Wishnu, mengiringi debaran dan detaknya.
"Betulan, kamu masih lajang? Laki-laki setampan kamu, masih lajang. Saya agak sulit mempercayainya," ceplos Hana.
"Jujur, banyak yang mau sama saya. Tapi, saya tidak sreg. Belum bertemu yang cocok," jawab Wishnu.
"Apa mungkin kamu terlalu banyak memilih?"
"Yaa, mungkin juga sih. Buat saya, pernikahan hanya satu kali seumur hidup, jadi pasangan saya haruslah yang sempurna dan memenuhi ekspektasi saya, supaya saya bahagia. Makanya, sampai sekarang saya masih melajang. Masih mencari. Sampai sekarang," jawab Wishnu.
"Apa saya memenuhi ekspektasimu?" tanya Hana, menggoda.
"Sangat," Wishnu tertawa. "Terus terang, sangat. Saya juga heran, kenapa saya bisa langsung merasa cocok, padahal kita baru bertemu. Tapi sekali kita berbincang, semuanya mengalir. Saya selalu mencari wanita yang bisa mengerti saya. Wanita berjilbab yang cerdas, nyambung dengan saya dan mengerti beban pekerjaan saya. Jika dia cantik, itu adalah keberuntungan saya."
Lalu Wishnu kembali menatap Hana lekat-lekat. "Dan, kamu punya semua itu," cetus Wishnu, membuat Hana tersipu dengan wajah merah merona.
"Jangan bikin saya ge-er, ah.." Hana mencubit mesra lengan Wishnu.
"Beneran kok," Wishnu tertawa.
Sisanya, mereka hanya saling menatap. Hanya sesekali berbicara. Tangan mereka saling menggenggam. Saling mengusap. Saling menyentuh sopan.
Ketika waktunya untuk boarding tiba, Wishnu tampak begitu berat melepas Hana. "Datanglah ke Banda Aceh. Terbanglah kunjungi saya. Jika saya bisa, sayapun akan ke Jakarta. Jangan lama-lama berpisahnya. Janji ya?" desah Wishnu, manja. Namun, suaranya bergetar, menahan air mata. Hana mengangguk.
"Janji?" Wishnu mengulangi. Hana mengangguk dengan kepala dan matanya.
That's it! Laki-laki dewasa di hadapannya ini begitu menggemaskan, Hana tidak ingin lagi menahan diri. Ia membelai rambut Wishnu dan merasa takjub, halus sekali rambut lurusnya itu. Kemudian, Hana mencium pipi Wishnu. Wajah lembut laki-laki itu memerah. Tersipu.
Ya Tuhan, Hana suka sekali. Sangat suka!
Sekali lagi Hana mengecup pipi kanan Wishnu. Agak lama kali ini. Wishnu tidak menolak. Ia hanya tersenyum sambil mempererat genggaman tangannya terhadap jemari Hana. Mereka semakin lekat saling tatap.
Wishnu terlihat ingin sekali membalas ciuman Hana, tapi ia malu. Takut Hana marah, mungkin. Hana memahami tatapan itu. Tangan kanan Hana membelai pipi kiri Wishnu, lalu mendekatkan bibirnya ke bibir Wishnu. Mengecupnya lembut. Hana merasakan Wishnu membalas kecupan itu. Tiga detik yang manis. Sangat manis, Hana bisa merasakannya sampai ke tenggorokan.
"I love you," bisik Hana, membuat Wishnu tertegun sekaligus tampak bahagia.
"I love you too," balas Wishnu, "Saya sangat ingin mencium kamu, tapi malu, banyak orang di kedai ini."
Hana tertawa. Ia sampai lupa bahwa mereka ada di tempat umum. Hana hanya menganggukkan kepala. "Akan ada waktunya. Bersabar ya, sayang," ujar Hana lembut sambil menggenggam erat jemari Wishnu.
Lalu Hana mengantarkan Wishnu ke pintu departure. Berkali-kali Wishnu melemparkan pandangan, mencari Hana. Ia tampak senang menemukan Hana menunggunya dan memperhatikannya sampai selesai. Hana dengan sabar memandangi Wishnu melintasi metal detector. Akhirnya, mereka saling melambaikan tangan dan tubuh Wishnu menghilang di balik partisi Bandara.
Hana balik kanan, melangkah kembali ke area parkir. Pikirannya berkecamuk. Ya Tuhan, ia jatuh cinta. Benarkah ini? Nyatakah ini? Cintakah ini? Kenapa baru sekarang? Kenapa sekarang? Apakah karena ia sedang merasa lemah? Apakah karena ia sedang lengah? Kenapa ia jatuh cinta pada Wishnu justru di tengah prahara jalan hidupnya.
Ketika akhirnya Hana masuk ke dalam mobil, ia berharap perasaannya ini tak akan membebani siapapun, terutama Wishnu. Ia tak ingin menyakiti siapapun, termasuk dirinya sendiri. Sungguh besar harapan Hana bahwa perasaannya terhadap Wishnu tidak menjadi bulan di atas ranting. Sebuah perasaan yang sangat indah, tapi sarat ilusi.
Usai men-starter mobil, jemari Hana membuka bagian asbak mobil. Ia mengeluarkan cincin emas belah rotan yang tergeletak di dalam asbak bersih itu. Sambil merapatkan bibir dan menghela nafas panjang menahan lara, ia kembali menyematkan cincin itu ke jari manis di tangan kanannya.
Tapi tadi pagi, saat saya menyambangi grup BBM "doefanbla$t", seorang kawan saya mengungkapkan kalimat "Bulan di Atas Ranting". Meski saya tidak menanyakan makna sebenarnya dari pepatah, saya langsung bisa menangkap artinya. Saya juga langsung terpikir, "Ini dia! Judul yang pas buat cerpen saya."
So, here it is. Selamat membaca... :)
====================================================================
Ranting kering "berbuah" bulan. (Image by: rockpaperscissorsnclay.blogspot.com) |
"Hey, mau ke mana, Han?" tegur Indra yang kebetulan berpapasan di tangga.
"Lagi ada perlu, Pak. Nanti saya balik lagi kok," jawab Hana seraya melambatkan langkah.
"Oke deh," Indra mengangguk-angguk. Sebetulnya ia tidak terlalu peduli Hana akan betulan kembali ke kantor atau tidak. Ia hanya iseng bertegur sapa.
Sesampai di area parkir, setengah berlari Hana menghampiri Mazda 2 hijaunya. Hamparan area parkir berlantai beton tampak begitu menyilaukan. Maklum, sinar matahari Senin sore itu masih terik. Gumpalan awan seakan lautan domba gemuk bergelantungan di langit. Udara yang berputar pelan terasa gerah, tapi Hana malah menggigil. Tak sabar rasanya ingin segera tiba di tempat tujuan.
Lima menit berikutnya, Hana sudah melajukan mobilnya di tol dalam kota. Kencang. Sesekali ia mengambil lajur kiri, melambatkan laju guna membalas pesan di Blackberry-nya.
"Kalau memang sibuk dan tidak sempat, ya tidak apa-apa. Tapi kalau sempat, saya akan senang sekali." Begitu tulisan di Blackberry Messenger Hana. Senyum kecil terbit di sudut bibirnya.
"Saya sudah di tol dalam kota lho. Sampai ketemu nanti, ya." ketik Hana cepat-cepat. Jempol kanan Hana cekatan mengetik di atas keyboard qwerty dakota putihnya itu.
Tak berapa lama, masuk lagi sebuah pesan. "Kira-kira berapa lama sampai di bandara? Saya tunggu di Kedai Anglo ya."
Hana kembali tersenyum. "Sekitar 35-40 menit. Oke nanti saya langsung ke TKP."
Sepanjang jalan, yang Hana pikirkan adalah percakapannya dengan Wishnu lewat Blackberry Messenger, semalam. Percakapan yang diawali dengan kalimat-kalimat formal, karena Wishnu adalah koleganya. Rangkaian kalimat dialog mereka berlanjut menjadi obrolan yang mengalir, hangat, bahkan terselip curhat, seakan mereka adalah kawan yang sudah akrab selama bertahun-tahun.
Ujung-ujungnya, hati Hana dan Wishnu saling klik dan tertaut, laksana anak kunci terputar ke arah yang tepat lalu menyenggol kaitan kunci. KLEK. Kaitan terlepas, pintu mulai terbuka lebar, tak lagi terkunci. Arus perasaan berlomba berdesakan keluar dari pintu yang terbuka. Rasa yang berwarna-warni. Senang, cemas, gembira, khawatir, berharap, optimis, pesimis. Pelangi hati.
Hanya saja, Hana masih takut mengartikan rasa itu sebagai jatuh cinta. Biarlah waktu yang menjawab. Begitu Hana berjanji pada dirinya sendiri.
"Yang jelas, saya tidak mau mengkhawatirkan hal-hal yang belum terjadi dan belum ada. Saya hanya ingin menikmati apa yang sedang saya rasakan saat ini dan sekarang. Ke depannya, adalah harapan. Tak lebih. Harapan yang memotivasi, memberi semangat hidup." Tulis Hana semalam, sebelum ia mengakhiri chatting mereka.
"Mantap. Saya setuju," balas Wishnu di ujung sana.
"Jadi, mari kita nikmati detik ini. Dan detik-detik berikutnya, selama takdir masih terasa bersahabat terhadap kita. :) " Tulis Hana lagi.
"Siapa takut?" jawab Wishnu.
Hari itu, Wishnu harus segera kembali ke Banda Aceh. Hana tahu itu, karena semalam mereka juga membahasnya. Lalu jika Hana menemui Wishnu di Bandara Soetta sebelum dia take off, itu bukanlah sesuatu yang sebelumnya direncanakan. Bahkan tadi pagi, Hana tidak berpikir untuk menyusulnya. Rampungnya tugas lebih cepat dari perkiraan, plus telepon dari Wishnu siang itulah yang membuatnya berubah pikiran.
Entah kenapa, Hana mendadak merasa harus bertemu Wishnu, meski hanya sebentar. Ia bahkan tak mengindahkan udara nan panas dan padatnya tol dalam kota menuju Bandara. Yang Hana pikirkan adalah mencapai Bandara secepat mungkin dan selamat. Sungguh, ia harus bertemu Wishnu.
Ketika akhirnya Mazda 2 hijau itu terparkir rapi di area parkir Bandara, hati Hana semakin mantap. Semantap langkahnya menuju Terminal 1A - Departure. Ia sempat bingung mencari Kedai Anglo seperti yang dikatakan Wishnu tadi.
Di mana... di mana... di manaaa.. Hana mulai bernyanyi dalam hati, menghibur diri sambil menetralisir rasa gembiranya agar tidak terlihat berlebihan. Mata kecilnya mencermati sekeliling. Sayang, ia tetap tidak menemukan nama kedai dimaksud. Sampai akhirnya ia melangkahkan kaki ke arah toilet, di balik tangga besar.
Ah, itu dia! Betul, itu dia kedainya! Hati Hana bersorak girang. Langkah kakinya panjang-panjang menghampiri kedai. Di pintu, Hana disapa oleh seorang greeter yang ramah. Hana balas tersenyum seraya mengatakan ia sudah ditunggu temannya di dalam. Kemudian, mata Hana mencari ke sekeliling ruangan.
Matanya segera bertumbuk dengan sepasang mata indah, yang sudah berhasil membuat Hana tertarik sejak awal ia membaca laporan dan resume Wishnu di salah satu berkas yang tertumpuk di desk-nya. Mata indah berbentuk biji pecan yang sejodoh dengan bibirnya. Mata cokelat dan bibirnya yang senantiasa menyunggingkan senyum tipis. Menggoda.
Hana pun terpana. Hatinya terpanah. Wishnu!
Detik itu pula, bagi Hana, waktu terhenti. Membeku. Lagi-lagi Hana menggigil. Mati-matian ia berusaha menahan diri agar tidak berteriak atau tertawa kesenangan.
Setelah berhasil menguasai diri, ia melambaikan tangan yang dibalas dengan lambaian tangan oleh Wishnu. Hana melangkah ringan memasuki ruangan, menghampiri pojok ruangan, tempat Wishnu menunggu.
Mereka berjabat tangan, saling melemparkan sapaan hangat, lalu duduk bersebelahan di sofa panjang itu. Lucunya, tangan mereka tidak terlepas, malah saling menggenggam.
"I can't believe you are actually here," desis Wishnu, tertawa kecil, lalu menatap Hana lekat-lekat.
"I can't believe it myself!" jawab Hana, tersenyum geli, sambil terus membalas tatapan Wishnu. Ia nyaris merasa terhipnotis.
Mata Wishnu begitu dalam. Nyaris segaris. Misterius. Hana suka. Suka sekali. Mata yang teduh. Tatapan cerdas dan ramah menenangkan. Hana sangat suka. Hana jatuh cinta. Ya, jatuh cinta. Tampaknya Wishnu pun merasakan hal serupa. Buktinya, mereka duduk begitu dekat. Nyaris berpangkuan, saking lekatnya.
Hana merentangkan lengan kanannya ke bawah ketiak Wishnu, merangkulnya hangat, lalu membelai lembut punggungnya. Tubuh Wishnu hangat. Sangat hangat. Atletis. Padat dan liat. Tapi yang jelas, tubuh ini hangat. Sehangat karakter Wishnu. Sehangat tatapannya.
Tidak banyak kata yang terucap di antara mereka. Hanya saling menatap. Saling tersenyum. Wishnu berkali-kali mencubit dirinya, merasa tak percaya bahwa Hana ada di hadapannya.
"Ini bukan mimpi kan? Ini nyata kan?" ujarnya berulang kali.
"Ini nyata, sayang. Sangat nyata. Begitu juga perasaan saya. Semua yang saya tulis dan kita sharing sejak beberapa malam terakhir, adalah nyata," kata Hana, setengah berbisik di telinga Wishnu.
Sinar mata Wishnu begitu bahagia. Sunggingan senyumnya begitu penuh arti, membuat Hana semakin terperosok jatuh ke dalam pelukan kubangan cinta yang terhampar di depannya. Dalam hati, Hana berseru, 'Ini dia, laki-laki yang mengerti saya. Mengerti pekerjaan saya. Mengerti hati saya!' Seruan yang sama rupanya juga bergema, memenuhi ruang jantung Wishnu, mengiringi debaran dan detaknya.
"Betulan, kamu masih lajang? Laki-laki setampan kamu, masih lajang. Saya agak sulit mempercayainya," ceplos Hana.
"Jujur, banyak yang mau sama saya. Tapi, saya tidak sreg. Belum bertemu yang cocok," jawab Wishnu.
"Apa mungkin kamu terlalu banyak memilih?"
"Yaa, mungkin juga sih. Buat saya, pernikahan hanya satu kali seumur hidup, jadi pasangan saya haruslah yang sempurna dan memenuhi ekspektasi saya, supaya saya bahagia. Makanya, sampai sekarang saya masih melajang. Masih mencari. Sampai sekarang," jawab Wishnu.
"Apa saya memenuhi ekspektasimu?" tanya Hana, menggoda.
"Sangat," Wishnu tertawa. "Terus terang, sangat. Saya juga heran, kenapa saya bisa langsung merasa cocok, padahal kita baru bertemu. Tapi sekali kita berbincang, semuanya mengalir. Saya selalu mencari wanita yang bisa mengerti saya. Wanita berjilbab yang cerdas, nyambung dengan saya dan mengerti beban pekerjaan saya. Jika dia cantik, itu adalah keberuntungan saya."
Lalu Wishnu kembali menatap Hana lekat-lekat. "Dan, kamu punya semua itu," cetus Wishnu, membuat Hana tersipu dengan wajah merah merona.
"Jangan bikin saya ge-er, ah.." Hana mencubit mesra lengan Wishnu.
"Beneran kok," Wishnu tertawa.
Sisanya, mereka hanya saling menatap. Hanya sesekali berbicara. Tangan mereka saling menggenggam. Saling mengusap. Saling menyentuh sopan.
Ketika waktunya untuk boarding tiba, Wishnu tampak begitu berat melepas Hana. "Datanglah ke Banda Aceh. Terbanglah kunjungi saya. Jika saya bisa, sayapun akan ke Jakarta. Jangan lama-lama berpisahnya. Janji ya?" desah Wishnu, manja. Namun, suaranya bergetar, menahan air mata. Hana mengangguk.
"Janji?" Wishnu mengulangi. Hana mengangguk dengan kepala dan matanya.
That's it! Laki-laki dewasa di hadapannya ini begitu menggemaskan, Hana tidak ingin lagi menahan diri. Ia membelai rambut Wishnu dan merasa takjub, halus sekali rambut lurusnya itu. Kemudian, Hana mencium pipi Wishnu. Wajah lembut laki-laki itu memerah. Tersipu.
Ya Tuhan, Hana suka sekali. Sangat suka!
Sekali lagi Hana mengecup pipi kanan Wishnu. Agak lama kali ini. Wishnu tidak menolak. Ia hanya tersenyum sambil mempererat genggaman tangannya terhadap jemari Hana. Mereka semakin lekat saling tatap.
Wishnu terlihat ingin sekali membalas ciuman Hana, tapi ia malu. Takut Hana marah, mungkin. Hana memahami tatapan itu. Tangan kanan Hana membelai pipi kiri Wishnu, lalu mendekatkan bibirnya ke bibir Wishnu. Mengecupnya lembut. Hana merasakan Wishnu membalas kecupan itu. Tiga detik yang manis. Sangat manis, Hana bisa merasakannya sampai ke tenggorokan.
"I love you," bisik Hana, membuat Wishnu tertegun sekaligus tampak bahagia.
"I love you too," balas Wishnu, "Saya sangat ingin mencium kamu, tapi malu, banyak orang di kedai ini."
Hana tertawa. Ia sampai lupa bahwa mereka ada di tempat umum. Hana hanya menganggukkan kepala. "Akan ada waktunya. Bersabar ya, sayang," ujar Hana lembut sambil menggenggam erat jemari Wishnu.
Lalu Hana mengantarkan Wishnu ke pintu departure. Berkali-kali Wishnu melemparkan pandangan, mencari Hana. Ia tampak senang menemukan Hana menunggunya dan memperhatikannya sampai selesai. Hana dengan sabar memandangi Wishnu melintasi metal detector. Akhirnya, mereka saling melambaikan tangan dan tubuh Wishnu menghilang di balik partisi Bandara.
Hana balik kanan, melangkah kembali ke area parkir. Pikirannya berkecamuk. Ya Tuhan, ia jatuh cinta. Benarkah ini? Nyatakah ini? Cintakah ini? Kenapa baru sekarang? Kenapa sekarang? Apakah karena ia sedang merasa lemah? Apakah karena ia sedang lengah? Kenapa ia jatuh cinta pada Wishnu justru di tengah prahara jalan hidupnya.
Ketika akhirnya Hana masuk ke dalam mobil, ia berharap perasaannya ini tak akan membebani siapapun, terutama Wishnu. Ia tak ingin menyakiti siapapun, termasuk dirinya sendiri. Sungguh besar harapan Hana bahwa perasaannya terhadap Wishnu tidak menjadi bulan di atas ranting. Sebuah perasaan yang sangat indah, tapi sarat ilusi.
Usai men-starter mobil, jemari Hana membuka bagian asbak mobil. Ia mengeluarkan cincin emas belah rotan yang tergeletak di dalam asbak bersih itu. Sambil merapatkan bibir dan menghela nafas panjang menahan lara, ia kembali menyematkan cincin itu ke jari manis di tangan kanannya.
* * *
===================================================================
@ copyright firstavina, Oktober 2012
10 komentar:
aLoh? sih Hana udah pernah nikah
fufufufu ini kenapa saya enggak paham paham. terus mksdnya bulan diatas ranting hiyaaa mksdnya apa itu~
ehem... ceritax..bagus, maknax... duaaaaalem..buanget's... dah.... saluto.. teh... (^_*)
Hehehehe... Iya, Hana sudah menikah. Tapi ngga dijelaskan apa Wishnu sudah tau status Hana yang sebenarnya atau belum. Itu tergantung ekspektasi pembaca aja. :D
Kalau bulan di atas ranting itu artinya ilusi. Seakan-akan bulan itu bagian dari ranting, seakan-akan buahnya pohon yang bergelantungan di ranting. Padahal kan tidak begitu. :)
Ngga terlalu berat kan topiknya, Bang? :D
Glad you understand it. Wekekekeke..
Keren ceritanya mbak, ;)
Klo ada waktu, mampir juga ke blog saya ya... Tp isinya gak sebagus yg disini...
http://crushinfo.blogspot.com
Mangstabz ceritanya Vin... Saking detilnya smpe trasa kyk bnr2 terjadi...
Cuma sayang skali tokohnya berjilbab, tp justru terang2an melakukan 'zina' dengan sentuhan :( apalagi digambarkan bhw Hana itu ternyata sudah menikah...
Hehehe.. Terima kasih undangannya, Om. Saya segera meluncur ke TKP. Dan, terima kasih sudah mampir yaa.. :)
Piyo, gw cuma mau nunjukin bahwa perempuan-perempuan berjilbab itu juga manusia, bukan malaikat mahasuci. Kami juga bisa rapuh, bisa khilaf dan melakukan hal-hal jahiliyah, meski tetap berusaha mengendalikan diri.
Dunia kan bukan utopia seperti yang loe inginkan. :)
Stop thinking like innocent children. This is the real world. Dan cerpen-cerpen gw berusaha semaksimal mungkin berasa real, tidak utopis.
mantabsss uyyy.....sy suka gaya bercerita mbak....!!!
Hehehehe.. Terima kasih, Mas Hengki. Semoga terhibur yaa.. :)
Posting Komentar