Agni terkesiap. Kepalanya refleks menoleh ke suatu arah, hanya saja matanya tidak mengerti apa yang harus ditemukan untuk dilihat. Alis tebalnya mendadak bertaut.
"Kenapa, Ni?" tanya Diana.
"Nggak tau. Rasanya kayak ada yang ngeliatin," jawab Agni, setelah membisu selama delapan detik.
"Hiii.. Loe pake merinding-merinding nggak?" timpal Krista. Rupanya ia menguping.
"Nggak sih.." tanpa sadar tangan Agni mengusap lehernya.
"Nggak merinding kok pegang leher?" kejar Krista.
"Ini gue sambil ngerasa-rasain, merinding nggak sih. Tapi enggak ah," Agni menegaskan.
"Ooo.. Kirain. Aneh aja kalo siang-siang panas begini loe merinding. Angin aja ngga ada," Diana bersungut, sambil mengipas-ngipaskan buku catatan kecilnya.
"Konpers jam berapa sih? Lama amat," Agni mengalihkan pembicaraan.
"Seharusnya sih jam satu. Tapi ngga ada tanda-tanda bakal konpers gini sih. Mencurigakan," ketus Krista, seraya melirik jam tangannya. Sudah pukul 14.10 WIB.
"Biasalah, para petinggi itu kudu setting statement dulu, biar jawabannya pada kompak. Nggak anehlah kalau statement mereka normatif-normatif aja," sahut Diana.
"Laper nih gue," Agni meringis.
"Samaaa.. Tadi gue bela-belain nggak makan dulu abis sholat tadi, karena takut keburu konpers. Ngga taunya sampe jam segini malah belum keliatan penampakan Pak Kadiv Humas. Gimana sih.." Diana mengetuk-ngetuk pulpennya di atas notepad-nya. Agak tak sabar.
"Kita ngopi aja dulu yuk di warung Emak," ajak Agni, sambil menunjuk warung kecil di sudut, tak jauh dari tempat mereka menunggu narasumber.
"Ayo deh, kita juga ikut," timpal Johanes dan Arya, "Laper juga gue."
"Gue stay di sini deh. Gue kan tadi udah makan mi ayam di warung belakang," kata Krista.
"Ya udah, loe stand by di sini. Nanti kalau beneran ada konpers, telepon gue ya," Agni berdiri. Tangannya menepuk-nepuk bagian belakang celana panjangnya, membersihkan kerikil yang mungkin terduduki di tangga ini. Krista mengacungkan jempol, tanda mengiyakan.
Lalu Diana dan Agni menyusul Johanes dan Arya yang sudah duluan ke warung Emak.
"Dien, beberapa minggu terakhir ini gue ngerasa ada yang merhatiin gue terus deh. Siapa ya?" Agni membuka pembicaraan.
"Eh.. Siapa hayoo? Ada yang naksir elo kali?" Diana nyengir. Menggoda.
"Nggak mungkin lah.." Agni tertawa.
"Kenapa nggak mungkin?"
"Ya nggak mungkin aja. Gue udah ketuaan untuk dikecengin orang," Agni menghabiskan tawanya di ujung bibir.
"Elo ngga tua kali, Ni. Baru 27 kan loe? Masih cakep kok. Cakep!" jemari Diana membentuk gestur kotak, seakan sedang membidik foto. Agni tergelak sambil mencoba menepis tangan sahabatnya itu.
"By the way, anyway, busway, gue kok mendadak keingetan kawan lama gue ya.." lanjut Agni, setelah derai tawanya usai.
"Kawan lama loe? Kawan apa kawan?" Diana menyelidik.
"Kawan kok," Agni nyengir ceria. "Ya, dulu gue pernah suka juga sih sama dia," ia melanjutkan.
"Trus kalian jadian?"
"Boro-boro lah. Kita waktu itu masih bocah. Gue dan dia sama-sama masih SD-SMP kali tuh, Dien," Agni tergelak.
"Eh, jangan salah, anak SD dan SMP zaman sekarang udah banyak yang jadian dan pacar-pacaran lho," Diana membantah.
"Yee itu kan sekarang. Dulu, di zaman kita, mana ada anak SD yang begitu? Paling suka-sukaan aja, ngga sampe jadian apalagi pacaran. Waktu SMP aja gue ngga pake pacar-pacaran tuh," Agni manyun.
"Loe dulu jelek kali ya?" Diana terbahak. Agni ikut terbahak, "Sialan loe.."
"Iya juga sih, gue dulu jelek. Item, kucel," kata Agni.
"Sekarang juga masih sih," kembali Diana menggoda.
"Yeeey tadi loe bilang gue cakep, sekarang dibilang masih jelek. Gimana sih loe, nggak konsisten?" Agni mencubit pelan lengan Diana. Yang dicubit tertawa makin keras.
"Iya, iya, ampun. Trus gimana soal kawan loe itu?"
"Hmm.. Ya gue kenal dia sejak SD. Gue jadi deket sama dia gara-gara nama kita sama," jawab Agni.
"Sama gimana?"
" Ya sama. Nama dia dan nama gue sama-sama Agni."
"Lho kok bisa?" Diana serius terheran-heran.
"Itu juga yang jadi pertanyaan gue dulu. Dia cuma bilang kalau nama dia artinya api atau orang yang ditakuti. Sedangkan nama gue artinya suci. Gitu. Nah, gara-gara itu gue jadi deket sama dia. Trus makin deket setelah kita SMP," Agni menjelaskan.
"Trus dianya suka sama elo juga ngga?"
"Hmm.. Itu yang gue ngga tau. Jujur aja gue ngga pede. Dia tu cowok populer. Ganteng, jangkung, gentleman. Hampir seluruh cewek di sekolah naksir dia. Cuma gue aja yang nggak," kata Agni.
"Bohong loe!"
"Hehehe.. Maksudnya, cuma gue aja yang nggak keliatan naksir dia. Gue tutupi lah. Gengsi tau."
"Yaelah, anak bocah udah kenal gengsi. Nah trus, trus?" Diana penasaran.
"Ya, gue berusaha keras untuk nggak ketahuan bahwa gue suka sama dia. Gue ngga mau dicap sebagai salah satu cewek yang suka juga sama dia. Gue musti beda dong, Dien. Makanya gue tetep mempertahankan status sahabat dengan dia waktu itu," tutur Agni.
Diana menggeleng-gelengkan kepalanya, "Bodoh ya elo."
"Iyaaaa.. Gue bodoh..." Agni pura-pura menangis di bahu Diana. Tangan Diana berpura-pura menepuk-nepuk punggung Agni. Kemudian mereka nyengir kuda.
"Tapi asli, gue nyesel. Kenapa gue ngga nyatain aja waktu itu ya. Kenapa nggak jadian aja ya gue ama dia. Biarin deh ngerusak persahabatan, yang penting gue bisa jadian ama dia gitu. Hiks.. Eh, tapi gue juga waktu itu takut sih. Takut dia ngga suka sama gue."
"Elo kebanyakan mikirnya deh. Padahal mah tembak, tembak aja. Soal ditolak atau nggak, itu kan urusan belakangan," Diana bersungut.
"Itu dia.. Dulu gue pemalu."
"Jiaaah, bohong banget!"
"Hahahaha.. Ketahuan bohongnya ya gue?" Agni menjulurkan lidahnya. "Ya waktu itu pokoknya gue nggak tau deh dia suka ama gue apa nggak. Tapi harusnya sih gue nekat aja ya dulu tuh?"
"Nah, itu pinter. Kok telat pinternya?" Diana meledek.
"Iya. Hiks.."
"Trus, cari aja sekarang orangnya."
"Maunya begitu. Tapi gue udah lost contact sama dia sejak gue pindah sekolah ke Bali," Agni manyun lagi.
"Rumahnya loe tau?"
"Tau lah, dulu dia tetangga gue."
"Datengin! Gampang kan? Bukannya sebagai wartawan kita udah diajarin nyari alamat sampe dapet?" Diana nyengir.
"Iya sih. Tapi gue takut ah. Takut CLBK," Agni merapatkan bibirnya.
"Emangnya kenapa kalau CLBK? Kalau ternyata dia suka juga dan masih suka sama loe, kan bagus tuh?"
"Bagus sih. Tapi, ngga tau kenapa gue takut. Takut mendengar jawabannya."
"Elo tuh ya, takut amat sih sama hal yang belum terjadi. Hajar ajaaa.."
"Masalahnya ini masalah hati, Dien. Gimana dong. Elo deh yang cari dia sekarang di mana," Agni melirik manja.
"Najis, ogah bener. Nambah-nambahin kerjaan gue aja. Gak!" Diana mengomel. Agni terbahak-bahak. Derai tawa mereka masih berlanjut sampai tiba di warung Emak.
Dalam hati, Agni benar-benar merindukan Agni. Ya. Ia sangat merindukan Agni laki-laki, yang sebenarnya baru saja pergi dari warung Emak setengah jam sebelumnya.
Bersambung nggak ya? :)
"Kenapa, Ni?" tanya Diana.
"Nggak tau. Rasanya kayak ada yang ngeliatin," jawab Agni, setelah membisu selama delapan detik.
"Hiii.. Loe pake merinding-merinding nggak?" timpal Krista. Rupanya ia menguping.
"Nggak sih.." tanpa sadar tangan Agni mengusap lehernya.
"Nggak merinding kok pegang leher?" kejar Krista.
"Ini gue sambil ngerasa-rasain, merinding nggak sih. Tapi enggak ah," Agni menegaskan.
"Ooo.. Kirain. Aneh aja kalo siang-siang panas begini loe merinding. Angin aja ngga ada," Diana bersungut, sambil mengipas-ngipaskan buku catatan kecilnya.
"Konpers jam berapa sih? Lama amat," Agni mengalihkan pembicaraan.
"Seharusnya sih jam satu. Tapi ngga ada tanda-tanda bakal konpers gini sih. Mencurigakan," ketus Krista, seraya melirik jam tangannya. Sudah pukul 14.10 WIB.
"Biasalah, para petinggi itu kudu setting statement dulu, biar jawabannya pada kompak. Nggak anehlah kalau statement mereka normatif-normatif aja," sahut Diana.
"Laper nih gue," Agni meringis.
"Samaaa.. Tadi gue bela-belain nggak makan dulu abis sholat tadi, karena takut keburu konpers. Ngga taunya sampe jam segini malah belum keliatan penampakan Pak Kadiv Humas. Gimana sih.." Diana mengetuk-ngetuk pulpennya di atas notepad-nya. Agak tak sabar.
"Kita ngopi aja dulu yuk di warung Emak," ajak Agni, sambil menunjuk warung kecil di sudut, tak jauh dari tempat mereka menunggu narasumber.
"Ayo deh, kita juga ikut," timpal Johanes dan Arya, "Laper juga gue."
"Gue stay di sini deh. Gue kan tadi udah makan mi ayam di warung belakang," kata Krista.
"Ya udah, loe stand by di sini. Nanti kalau beneran ada konpers, telepon gue ya," Agni berdiri. Tangannya menepuk-nepuk bagian belakang celana panjangnya, membersihkan kerikil yang mungkin terduduki di tangga ini. Krista mengacungkan jempol, tanda mengiyakan.
Lalu Diana dan Agni menyusul Johanes dan Arya yang sudah duluan ke warung Emak.
"Dien, beberapa minggu terakhir ini gue ngerasa ada yang merhatiin gue terus deh. Siapa ya?" Agni membuka pembicaraan.
"Eh.. Siapa hayoo? Ada yang naksir elo kali?" Diana nyengir. Menggoda.
"Nggak mungkin lah.." Agni tertawa.
"Kenapa nggak mungkin?"
"Ya nggak mungkin aja. Gue udah ketuaan untuk dikecengin orang," Agni menghabiskan tawanya di ujung bibir.
"Elo ngga tua kali, Ni. Baru 27 kan loe? Masih cakep kok. Cakep!" jemari Diana membentuk gestur kotak, seakan sedang membidik foto. Agni tergelak sambil mencoba menepis tangan sahabatnya itu.
"By the way, anyway, busway, gue kok mendadak keingetan kawan lama gue ya.." lanjut Agni, setelah derai tawanya usai.
"Kawan lama loe? Kawan apa kawan?" Diana menyelidik.
"Kawan kok," Agni nyengir ceria. "Ya, dulu gue pernah suka juga sih sama dia," ia melanjutkan.
"Trus kalian jadian?"
"Boro-boro lah. Kita waktu itu masih bocah. Gue dan dia sama-sama masih SD-SMP kali tuh, Dien," Agni tergelak.
"Eh, jangan salah, anak SD dan SMP zaman sekarang udah banyak yang jadian dan pacar-pacaran lho," Diana membantah.
"Yee itu kan sekarang. Dulu, di zaman kita, mana ada anak SD yang begitu? Paling suka-sukaan aja, ngga sampe jadian apalagi pacaran. Waktu SMP aja gue ngga pake pacar-pacaran tuh," Agni manyun.
"Loe dulu jelek kali ya?" Diana terbahak. Agni ikut terbahak, "Sialan loe.."
"Iya juga sih, gue dulu jelek. Item, kucel," kata Agni.
"Sekarang juga masih sih," kembali Diana menggoda.
"Yeeey tadi loe bilang gue cakep, sekarang dibilang masih jelek. Gimana sih loe, nggak konsisten?" Agni mencubit pelan lengan Diana. Yang dicubit tertawa makin keras.
"Iya, iya, ampun. Trus gimana soal kawan loe itu?"
"Hmm.. Ya gue kenal dia sejak SD. Gue jadi deket sama dia gara-gara nama kita sama," jawab Agni.
"Sama gimana?"
" Ya sama. Nama dia dan nama gue sama-sama Agni."
"Lho kok bisa?" Diana serius terheran-heran.
"Itu juga yang jadi pertanyaan gue dulu. Dia cuma bilang kalau nama dia artinya api atau orang yang ditakuti. Sedangkan nama gue artinya suci. Gitu. Nah, gara-gara itu gue jadi deket sama dia. Trus makin deket setelah kita SMP," Agni menjelaskan.
"Trus dianya suka sama elo juga ngga?"
"Hmm.. Itu yang gue ngga tau. Jujur aja gue ngga pede. Dia tu cowok populer. Ganteng, jangkung, gentleman. Hampir seluruh cewek di sekolah naksir dia. Cuma gue aja yang nggak," kata Agni.
"Bohong loe!"
"Hehehe.. Maksudnya, cuma gue aja yang nggak keliatan naksir dia. Gue tutupi lah. Gengsi tau."
"Yaelah, anak bocah udah kenal gengsi. Nah trus, trus?" Diana penasaran.
"Ya, gue berusaha keras untuk nggak ketahuan bahwa gue suka sama dia. Gue ngga mau dicap sebagai salah satu cewek yang suka juga sama dia. Gue musti beda dong, Dien. Makanya gue tetep mempertahankan status sahabat dengan dia waktu itu," tutur Agni.
Diana menggeleng-gelengkan kepalanya, "Bodoh ya elo."
"Iyaaaa.. Gue bodoh..." Agni pura-pura menangis di bahu Diana. Tangan Diana berpura-pura menepuk-nepuk punggung Agni. Kemudian mereka nyengir kuda.
"Tapi asli, gue nyesel. Kenapa gue ngga nyatain aja waktu itu ya. Kenapa nggak jadian aja ya gue ama dia. Biarin deh ngerusak persahabatan, yang penting gue bisa jadian ama dia gitu. Hiks.. Eh, tapi gue juga waktu itu takut sih. Takut dia ngga suka sama gue."
"Elo kebanyakan mikirnya deh. Padahal mah tembak, tembak aja. Soal ditolak atau nggak, itu kan urusan belakangan," Diana bersungut.
"Itu dia.. Dulu gue pemalu."
"Jiaaah, bohong banget!"
"Hahahaha.. Ketahuan bohongnya ya gue?" Agni menjulurkan lidahnya. "Ya waktu itu pokoknya gue nggak tau deh dia suka ama gue apa nggak. Tapi harusnya sih gue nekat aja ya dulu tuh?"
"Nah, itu pinter. Kok telat pinternya?" Diana meledek.
"Iya. Hiks.."
"Trus, cari aja sekarang orangnya."
"Maunya begitu. Tapi gue udah lost contact sama dia sejak gue pindah sekolah ke Bali," Agni manyun lagi.
"Rumahnya loe tau?"
"Tau lah, dulu dia tetangga gue."
"Datengin! Gampang kan? Bukannya sebagai wartawan kita udah diajarin nyari alamat sampe dapet?" Diana nyengir.
"Iya sih. Tapi gue takut ah. Takut CLBK," Agni merapatkan bibirnya.
"Emangnya kenapa kalau CLBK? Kalau ternyata dia suka juga dan masih suka sama loe, kan bagus tuh?"
"Bagus sih. Tapi, ngga tau kenapa gue takut. Takut mendengar jawabannya."
"Elo tuh ya, takut amat sih sama hal yang belum terjadi. Hajar ajaaa.."
"Masalahnya ini masalah hati, Dien. Gimana dong. Elo deh yang cari dia sekarang di mana," Agni melirik manja.
"Najis, ogah bener. Nambah-nambahin kerjaan gue aja. Gak!" Diana mengomel. Agni terbahak-bahak. Derai tawa mereka masih berlanjut sampai tiba di warung Emak.
Dalam hati, Agni benar-benar merindukan Agni. Ya. Ia sangat merindukan Agni laki-laki, yang sebenarnya baru saja pergi dari warung Emak setengah jam sebelumnya.
Bersambung nggak ya? :)
4 komentar:
kok baca ini jadi keinget film kramer vs kramer :))
lanjutiin
Ahhahahhahaaa seruuu...
Lanjut doooonngg... :)
Ehhh? Aku malah belum nonton film Kramer vs Kramer tuh, En. Cerita tentang apa ya?? :D
Huehehehe.. Sabaaar.. Agni-nya lagi liputan. Wekekekeke..
Posting Komentar